Gagasan
18 Januari, 2023 19:57 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan Menengah dan Khusus menuai kritikan dari banyak pihak. Melalui raperda tersebut, DIY menjadi satu-satunya daerah yang melegalkan pungutan ke siswa.
Kritikan keras disampaikan Ketua Ombudsman DIY Budhi Masthuri dalam pernyataan tertulis pada Rabu (18/1/2023). Budhi tegas mempertanyakan rujukan pembuatan raperda tersebut, tertuang dalam Undang-undang atau peraturan yang mana.
"Substansinya perda ini nantinya menjadi landasan hukum melegalkan pungutan. Meski dalam klausul bunyi pasal-pasalnya 'pungutan sesuai peraturan perundang-undangan," katanya.
Budhi meyakini, dasar hukum kuat yang nanti digunakan untuk mengesahkan pungutan di sekolah adalah Pasal 13 ayat 1 dan 2. Dalam pasal tersebut tertulis pungutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) wajib memenuhi sejumlah ketentuan.
Di sana diatur pula mekanisme pengumpulan, penyimpanan dan pertanggungjawaban penggunaan dana pungutan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Gubernur (Pergub).
Jika berinduk pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Budhi menjelaskan, terminologi pungutan ini merupakan instrumen pendapatan daerah dan seharusnya hanya diatur di situ.
"Padahal, dalam UU Keuangan Pusat dan Daerah, secara limitatif ditentukan objek jasa apa saja yang dapat dikenai pungutan. Jasa pendidikan tidak termasuk," jelas Budhi.
Tak hanya itu, tertutupnya pembahasan raperda yang tidak melibatkan orang tua, kelompok sosial yang peduli pendidikan, termasuk kampus, menjadi indikasi peraturan ini akan menimbulkan masalah.
Bagi Budhi, Raperda tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan Menengah dan Khusus dinilai membatasi akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
"Raperda ini seharusnya mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan angka kemiskinan di DIY. Pasalnya pelayanan publik harus ramah pada semua pihak, termasuk kelompok rentan sosial ekonomi," ungkapnya.
Komersialisasi Pendidikan
Kritikan keras juga disampaikan pakar hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Riawan Tjandra yang mengatakan jika raperda ini disahkan maka nanti akan memunculkan komersialisasi pendidikan di sekolah negeri.
"Pendidikan itu hakikatnya merupakan benda publik atau public goods. Akses masyarakat untuk mendapatkan itu, jangan dibatasi. Jika pendidikan negeri sudah dikomersialisasikan, maka pendidikan itu menjadi benda privat atau private domain," jelasnya.
Bagi Riawan, ada kesalahan paradigma yang tidak disadari dalam penyusunan raperda tersebut karena akan menggeser pendidikan jadi benda privat yang berdampak lepasnya tanggung jawab negara dan menyerahkannya kepada masyarakat.
"Padahal, itu adalah ranahnya sekolah swasta yang harus menghidupi diri sendiri sekaligus mengelola pendidikan di sekolahnya. Negara mendapatkan dana dari pajak dan nonpajak. Jadi, pendidikan itu adalah hak masyarakat dan tanggung jawab negara untuk memenuhinya," Riawan.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Didik Wardaya mengatakan dasar raperda tersebut mengacu pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
"Tidak ada dasar yang kuat untuk pungutan pendidikan yang setingkat UU. PP 48/2008 itu bukan dasar yang tepat untuk mengatur eksistensi pungutan. UU Nomor 20 tahun 2003 itu juga belum bisa menjadi dasar hukum eksistensi pungutan," jelasnya.
Bagikan