Heboh Nikuba Pengubah Air Jadi BBM, Kegagalan Pengajaran IPA?

11 Mei, 2022 19:52 WIB

Penulis:Algooth Putranto

Editor:Riyanta

Screen Shot 2021-12-31 at 19.45.20.png
Algooth Putranto

Tahun lalu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional membuat pernyataan yang bikin kuping para pendidikan merah. Pangkalnya PGRI menyatakan kualitas pendidikan Indonesia belum membanggakan berdasarkan indikator mutu pendidikan yang disepakati secara internasional.

Pendapat PGRI didasarkan catatan Human Development Index (HDI), Tren in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) serta Programme for International Student Assessment (PISA) yang meletakkan Indonesia di posisi menengah hingga rendah. Sedih!

Pangkal masalahnya? PGRI menilai, pendidikan Indonesia justru mundur akibat pemerintah yang terlalu sibuk membahas masalah administratif pendidikan seperti kurikulum, anggaran, sistem evaluasi, target kelulusan dan sebagainya dan seterusnya. 

Guru, yang semestinya punya tugas besar sebagai pendidik (mental dan intelektual) pun terjebak pekerjaan klerikal (administrasi) serta dikejar target kurikulum. Soal ini tampaknya jadi persoalan tak kunjung selesai.

Lha trus hubungannya apa kualitas pendidikan kita dengan Nikuba? Alat temuan Aryanto Misel, warga Lemahabang Wetan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang disanjung-sanjung media sebagai alat yang mampu mengonversi air menjadi hidrogen dan bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan bermotor.

Nikuba yang merupakan akronim dari Niku Banyu atau dalam bahasa Cirebon berarti ‘Itu Air’ jadi perhatian karena diberitakan sudah digunakan bagi sedikitnya 31 kendaraan kendaraan milik Kodam III Siliwangi. 

Makin heboh karena alat ini diklaim sedang dipatenkan dan sudah diijon Kodam III Siliwangi, jumlahnya fantastis: tak kurang 10.000 unit. Klaim tersebut tentu tak main-main, karena Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo pada 5 Mei 2022 sampai berkunjung langsung dan memberikan apresiasi. Tak heran, media pun bersemangat memberitakan.

Metodologi Ilmiah

Sayang, pemberitaan media bukanlah kebenaran sains yang lahir melalui metodologi ilmiah yang mensyaratkan proses. Langkah untuk menemukan kebenaran sains kerap kali jauh dari ingar bingar. Prosesnya panjang, bahkan kerap berujung pada kegagalan bahkan bisa membantah kebenaran ‘umum’ yang diyakini mayoritas. 

Sementara kebenaran dalam jurnalistik adalah kebenaran tentatif, yang terus berubah sesuai fakta (aktual). Tuntutan aktualitas pada jurnalistik ini kerap membuat jurnalis mengabaikan logika. Alhasil berita yang disampaikan pun cenderung asal heboh.

Lho, apa hubungannya dengan heboh alat Nikuba-nya Pak Aryanto Misel yang sampai dipuji Pangdam Siliwangi? Sederhana saja, teknologi yang diusung Nikuba tak canggih-canggih amat bahkan ngawur jika disebut temuan baru.

Teknologi yang diklaim baru ini sudah dikembangkan Yull Brown dan dipatenkan tahun 1974 dan disusul William A. Rhodes yang mematenkan alat hidrolisis satu dekade setelahnya. Wah canggih dong Nikuba? Lagi-lagi, tidak juga! 

Kenapa tidak canggih? Seluruh anak yang lulus SMA, pernah belajar ilmu kimia, belajar tabel unsur dan pernah praktik di lab tentu akrab dengan proses memisahkan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) dari air (H2O)

Penulis ingat dengan dua almarhum guru kimia ketika SMA, mereka di waktu yang berbeda menggunakan beberapa jenis senyawa katalis mengandung Hidrogen seperti NaOH (Natrium Hidroksida/Soda Api), KOH (Kalium Hidroksida) atau NAHCO3 (Natrium Bikarbonat/Soda Kue).

Secara alami, katalis tersebut jika dicampur air (H2O) akan bersifat eksotermik (menimbulkan panas) ketika memisahkan gas H2O terlihat dari gelembung udara (dalam bahasa Jawa disebut blekuthuk). Proses ini pelepasan gas hidrogen dan oksigen akan semakin cepat ketika melibatkan logam aluminium (Al) yang diberikan energi listrik.

Temuan Yull Brown ketika diaplikasikan sebagai subtitusi pasokan udara ke ruang bakar ternyata mampu menurunkan kebutuhan bahan bakar minyak, sayang teknologi ini kurang efisien bagi industri otomotif.

Sejumlah penggemar teori konspirasi lantas menuding temuan ini dimatikan produsen minyak. Sayangnya, di tengah perlombaan kendaraan hemat BBM bahkan tanpa BBM, tetap saja teknologi ini tidak dilirik. Sekali lagi karena kurang efisien.

Tidak heran jika kemudian, temuan Yull Brown di kalangan ilmuwan dan inventor (penemu), seperti halnya metode Cuci Otak dan Vaksin Nusantara yang diklaim temuan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, hingga kini teknologi Yull Brown sekadar pseudosains.

Pseudosains atau ilmu semu adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan atau praktik yang dianggap ilmiah tetapi tidak mengikuti ataupun tidak sesuai dengan metode ilmiah. Ilmu semu mungkin terlihat ilmiah, tetapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan sering kali berbenturan dengan kesepakatan ilmiah umum.

Baiklah, lalu ada apa dengan media kita dalam memberitakan Nikuba? Penulis melihat media-media yang menulis seolah pikun dengan alat serupa ciptaan Joko Suprapto asal Yogyakarta. Alat dengan nama Blue Energy menimbulkan kehebohan se-Indonesia pada 2008.

Heboh se-heboh-hebohnya karena yang ditipu tak main-main, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono! Dinamai Blue karena Presiden saat itu dari partai berkelir biru. Istana bahkan membawa temuan Blue Energy ke Nusa Dua, Bali tempat digelarnya United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC). 

Tak hanya Presiden SBY yang lantas malu, Rektor Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Khoiruddin Bashori pun kena kibul. Pasalnya sebelum bernama Blue Energy, produk ini dirilis dengan nama Banyugeni di kampus terpadu UMY di Ringroad Selatan, Tamantirto, Bantul.

Proyek Banyugeni ini tak main-main karena melibatkan dosen UMY yang saat itu bergelar insinyur dan magister teknik betulan—entah bagaimana keempat dosen itu serupa kerbau dicocok hidungnya untuk manut saja. 

UMY tak tertipu sampai di situ saja, Khoiruddin yang bergelar Doktor Psikologi itu terbuai bualan Joko Suprapto pun sepakat merogoh kas kampus demi pembangunan pembangkit listrik mandiri Jodhipati senilai Rp1,345 miliar. 

Di akhir perjalanan cerita, Joko pun dikenai putusan 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Bantul pada 2009. Dengar-punya dengar pembangkit listrik ini dulu pernah ditawarkan Joko ke Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan merek lebih sangar: ‘Pembangkit Listrik Tenaga Jin’

Melihat kisah Blue Energy hingga Nikuba, jangan-jangan memang benar pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Indonesia memang gagal menjadikan siswa terasah daya kritis dan intelektualitasnya karena sekadar serupa sastra yang dihapalkan tanpa rasa. Semoga ya tidak lah.