Ini Kata Pakar dari UGM Soal Aksi Penendangan Sesaji di Gunung Semeru

17 Januari, 2022 06:17 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Bunga NurSY

IMG_1809 (1).JPG
Ilustrasi (UGM)

Eduwara.com, JOGJA— Penelitian khusus terkait dengan keberadaan sesaji di masyarakat Indonesia perlu diadakan untuk merasionalisasikan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya kepada masyarakat modern.

Hal itu diungkapkan oleh Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sartini  dalam menyingkapi kasus ditendangnya sesaji di Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur oleh Hadfana Firdaus. Video penendangan sesaji ini sempat viral di media sosial.

"Di masyarakat kita tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, atau nenek moyang, dan makhluk yang tidak kelihatan," kata pemerhati budaya kearifan lokal itu dalam rilis, Minggu (16/1/2022).

Tradisi sesaji ini menurutnya ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha. Keberadaan sesaji dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu sehingga benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. "Masing-masing unsur dalam sesaji  mempunyai filosofinya sendiri," kata Sartini.

Berkaca pada kasus di Semeru, Ia mengatakan sesaji dihaturkan oleh beberapa orang karena menganggap Semeru sebagai "makhluk" yang memiliki kekuatan dan berharap agar Semeru tidak "murka" lagi.

"Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan, karena itulah diperlukan penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini," ujarnya.

Di nusantara, sebagian kepercayaan terdapat pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya. Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya.

Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai serta hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut dan melakukan sesaji adalah salah satu caranya.

Sartini menilai keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesaji merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Menurutnya diperlukan rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik.

"Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," tutupnya.

Sebelumnya, menyingkapi penangkapan Firdaus, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Al Makin mengatakan yang bersangkutan pernah tercatat sebagai mahasiswa namun dinyatakan DO pada 2014.

"Data Sistem Informasi Akademik (SIA) UIN Sunan Kalijaga, yang bersangkutan tercatat sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, angkatan 2008. Kuliah semester 1 s/d semester 6," kata Al Makin.

Pada semester gasal tahun akademik 2011/2012 sudah tidak melakukan pembayaran.  Sehingga dinyatakan drop out (DO) pada semester genap tahun akademik 2013/2014/ Firdaus tercatat di SIA di DO sejak 26 Mei 2014.

"Yang bersangkutan selanjutnya sempat mendaftar di Program Magister (S2)  Pendidikan Agama Islam di UIN Sunan Kalijaga, tetapi tidak mendaftar ulang sampai batas waktu yang ditentukan," katanya.