Kemendikbudristek Dorong Perguruan Tinggi Hadirkan Satgas PPKS

27 Juli, 2024 11:29 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

26072024-konferensi ppks.jpg
Konferensi Nasional bertajuk ‘Sexual Violence in Universities: Investigation Root Cause Problems, Prevention, and Responses’ diselenggarakan di FK-KMK UGM, Rabu-Kamis (24-25/7/2024). (EDUWARA/Dok. UGM)

Eduwara.com, JOGJA – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat ada sebanyak 1.675 Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang terbentuk di 125 perguruan tinggi negeri. Namun, dari 4.000 perguruan tinggi swasta, 43 persen di antaranya belum membentuk Satgas PPKS.

“Penguatan Satgas PPKS di setiap perguruan tinggi akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi,” kata Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana, dilansir pada Jumat (26/7/2024).

Hal ini disampaikan Chatarina saat memberikan sambutan dalam Konferensi Nasional bertajuk ‘Sexual Violence in Universities: Investigation Root Cause Problems, Prevention, and Responses’ yang diselenggarakan Rabu-Kamis (24-25/7/2024) di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Konferensi Nasional ini terwujud atas kolaborasi beberapa Satgas PPKS Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI), Yayasan BaKTI, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Terbagi menjadi sesi seminar dan panel, konferensi ini membahas 100 makalah dari 154 peserta, dengan peserta nonpanel sejumlah 58 orang.

Melalui Permendikbud 30/2021, lanjut Chatarina, nantinya Satgas PPKS akan menjadi unit tetap yang masuk dalam Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) perguruan tinggi sehingga mereka bisa menyusun program kerja dan penganggaran secara maksimal.

Chatarina menambahkan keberadaan Satgas PPKS di wilayah perguruan tinggi juga akan menangani dua tipe kekerasan lain, yaitu perundungan dan intoleransi. Di mana keduanya, bersama kekerasan seksual, merupakan tiga dosa besar di lingkungan pendidikan.

“Kami sangat mengharapkan pimpinan perguruan tinggi di manapun mengupayakan pemenuhan kebutuhan Satgas PPKS karena kemampuannya dalam menjalankan tugasnya sangat bergantung pada komitmen dan kebijakan perguruan tinggi,” paparnya.

Kemendikbudristek, disebut Chatarina, siap memfasilitasi peningkatan kompetensi dan kapasitas semua tim Satgas PPKS untuk menciptakan kampus yang sehat, aman, dan nyaman, tanpa adanya kasus-kasus kekerasan seksual.

Isu Sentral

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Badan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Amich Alhumami, memaparkan pembangunan manusia menjadi isu sentral dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan.

“Produktivitas menjadi penghubung antara korban kekerasan seksual dan pembangunan. Jika seseorang mendapatkan kekerasan seksual, ia akan mengalami trauma psikologis dan fisik yang berkepanjangan,” terangnya.

Dampaknya, korban akan kehilangan waktu untuk tumbuh menjadi manusia sempurna dan produktif. Terlebih jika kekerasan seksual ini terjadi di perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat untuk menimba ilmu.

Amich mengapresiasi pelaksanaan konferensi nasional ini sebagai komitmen dari universitas untuk pencegahan dan memberikan perlindungan bagi korban.

“Jika dukungan dari pimpinan perguruan tinggi tersedia, Satgas PPKS memiliki energi untuk bekerja. Jadi mereka akan semakin progresif dalam menjalankan peran dan fungsinya,” paparnya.

Rektor UGM Ova Emilia mengatakan UGM telah menyesuaikan kebijakan internal dengan aturan tersebut, antara lain dengan pembentukan Satgas PPKS pada 3 September 2022.

“Tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menyangkut pelanggaran perilaku profesional. Pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, memerlukan upaya komprehensif lintas sektoral,” terangnya.

Forum diskusi ilmiah sebagai media tukar gagasan dan pengalaman (lesson learn) mengenai bestpractice, menjadi bagian dari proses bersama dalam membuka perspektif baru untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di masa depan.