Lestarikan Burung Paruh Bengkok, Dua Peneliti Raih Beasiswa ke UGM

15 Oktober, 2025 02:15 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

15102025-UGM paruh bengkok.jpg
Pasangan suami istri, Dwi Agustina dan Dudi Nandika, berhasil meraih beasiswa bergengsi dari Mandai Nature. Beasiswa ini merupakan buah dari dedikasi mereka berdua yang selama 18 tahun melestarikan burung paruh bengkok. Kedua peneliti ini akan melanjutkan studi lanjut ke Fakultas Biologi UGM. Dwi akan menempuh studi di program Master, sedangkan Dudi di program Doktor. (EDUWARA/Dok. UGM)

Eduwara.com, JOGJA - Dedikasi selama 18 tahun dalam melestarikan burung paruh bengkok mengantarkan sepasang suami istri, Dwi Agustina dan Dudi Nandika, meraih beasiswa bergengsi dari Mandai Nature.

Kini, Dwi dan Dudi berkesempatan menempuh pendidikan lanjut di Universitas Gadjah Mada (UGM). Keduanya akan melanjutkan studi di Fakultas Biologi UGM. Dwi akan melanjutkan studi ke program Master dan Dudi ke program Doktor.

Dwi Agustina, salah satu pendiri Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI) yang berdiri sejak 2007, mengungkapkan rasa syukurnya atas kesempatan ini. KKI, yang pada awalnya merupakan bagian dari organisasi Parrot Project Amerika Serikat, telah mengukir prestasi gemilang dalam upaya konservasi.

"Kami memulai program konservasi di Pulau Masakambing pada tahun 2007 untuk kakatua kecil jambul kuning. Saat itu, populasinya hanya tersisa 8 ekor. Setelah hampir 10 tahun bekerja, hingga tahun 2018, populasinya meningkat menjadi 22 ekor,” kata Dwi, Selasa (14/10/2025).

Setelah kesuksesan di Masakambing, Dwi dan Dudi melanjutkan perjuangan mereka di Seram Utara, Maluku. Sementara itu, program di Masakambing kini dilanjutkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur.

Selain penelitian dan konservasi, KKI juga fokus pada rehabilitasi habitat dan ekowisata. Mereka bekerja sama dengan BKSDA untuk merehabilitasi satwa sitaan, terutama jenis burung paruh bengkok, di Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS) sebelum dilepasliarkan kembali ke alam.

KKI juga memiliki program edukasi bernama Conservation Awareness and Pride (CAP) Program.

"Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan rasa bangga masyarakat terhadap burung-burung asli daerah mereka, khususnya spesies kakatua dan nuri," jelas Dwi.

Kesesuaian Riset

Pasangan peneliti ini memilih UGM karena kesesuaian riset dan adanya program by research. Program ini memungkinkan mereka untuk menjalankan pekerjaan konservasi sambil tetap menempuh pendidikan.

"Program by research ini sangat mempermudah praktisi seperti kami untuk melanjutkan akademis tanpa meninggalkan misi konservasi," kata Dwi.

Saat ini, penelitian Dwi yang didanai oleh Rufford Foundation berfokus pada perdagangan burung dan komunikasi dengan masyarakat lokal di Maluku, khususnya di Seram Utara. Ia menjalin komunikasi dengan masyarakat adat Huaulu yang memiliki tradisi Cidaku, upacara kedewasaan yang menggunakan bulu kakatua sebagai hiasan.

"Kami telah mencapai kesepakatan dengan mereka untuk mengganti bulu kakatua hasil buruan dengan bulu hasil rontokan dari pusat rehabilitasi," cerita Dwi.

Dwi berharap masyarakat Indonesia semakin mencintai dan bangga terhadap burung-burung asli, terutama paruh bengkok.

"Ketika rasa bangga itu tumbuh, mereka akan lebih peduli. Mulai dari menjaga makanan dan air, hingga memastikan kandangnya layak terbang," imbuhnya.

Dwi menekankan upaya rehabilitasi membutuhkan biaya besar, jauh lebih efektif daripada menghadapi kerusakan akibat perdagangan burung. Harapan mereka, burung ini bisa tetap lestari, jumlahnya semakin banyak, dan orang semakin mencintai dan bangga.

Mandai Nature, yang menjadi pemberi beasiswa, adalah cabang konservasi dari Mandai Wildlife Group (MWG). Organisasi yang berbasis di Singapura ini bertujuan mewujudkan dunia di mana satwa liar dan manusia dapat hidup berdampingan.