Mulai Hari Ini, Teater Lintas Genre dan Bentuk Tampil di TBY

16 Oktober, 2024 17:09 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

16102024-TBY teater lintas genre.jpg
Mulai Rabu (16/10/2024) sampai Jumat (18/10/2024), Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menyajikan parade pentas teater bertajuk Linimasa#7. Selama tiga malam, pertunjukan bertema ‘Kota, Arsip, dan Teks’ yang digratiskan untuk umum ini akan menampilkan enam kelompok teater lintas genre dan bentuk. (EDUWARA/K. Setyono)

Eduwara.com, JOGJA – Bertema ‘Kota, Arsip, dan Teks’, mulai Rabu (16/10/2024) sampai Jumat (18/10/2024) Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menyajikan parade pentas teater bertajuk Linimasa#7. Selama tiga malam, pertunjukan yang digratiskan untuk umum ini akan menampilkan enam kelompok teater lintas genre dan bentuk.

Kepala TBY Purwiati mengatakan pentas Linimasa diupayakan terus untuk menjadi ruang khusus bagi seniman teater. Menurut Purwiati, seni teater telah menjadi salah satu hal penting dan membawa pengaruh besar di Yogyakarta.

“Ini adalah ruang teman-teman mengekspresikan ide dari teater konvensional maupun yang sudah dikembangkan,” kata Purwiati dilansir pada Rabu (16/10/2024).

Purwiati menjelaskan enam tim yang akan tampil merupakan hasil seleksi dari 26 kelompok yang mendaftar. Kelompok teater tersebut berasal dari komunitas teater kampung, pelajar, kampus dan sanggar atau kelompok teater non-profesional.

Kelompok teater lintas genre dan bentuk yang akan hadir di antaranya Teater Sanggar Anak Alam, Studi Seni Ngathabagama, Teater Mlati, Kinemime Nusantara, Young Artist from Yogyakarta, dan Komunitas Manah Ati.

Purwiati menambahkan kelompok yang terpilih sudah berproses sejak Agustus 2024. Harapannya, Linimasa#7 menjadi program pengembangan seni teater TBY, khususnya basis penciptaan teater bagi kelompok teater di Yogyakarta. Bahkan ada kelompok yang mengambil langkah riset teater dalam penciptaan lakonnya.

Perubahan Sosial

Tema ‘Kota, Arsip, dan Teks’ dipilih karena penyelenggara ingin menampilkan kompleksitas dan fenomena yang sedang bergeser. Di mana Yogyakarta menjadi bagian dari perubahan sosial yang cukup cepat dengan bermunculnya ancaman-ancaman dan potensi dari persoalan pelik seputar sampah, dinamika sosial-ekonomi, kontestasi politik lokal.

“Kemudian ada relasi kuasa, ruang margin terdampak upaya revitalisasi benteng keraton, sesekali teror kekerasan jalanan dan sebagainya. Yogyakarta hari ini makin bising dan macet,” kata Kurator Linimasa #7, Elyandra Widharta.

Dengan menjadikan ruang-ruang romantisme dalam gang-gang kampung mulai terpinggirkan maka hal itu menjadikannya tinggal menjadi arsip hidup yang carut marut dan saling berkelindan dengan teks-teks yang berjejalan dengan dinamis dan transformatif.

“Teater bisa menjadi bahasa lain untuk menangkap berbagai fenomena yang ada di Kota Jogja yang kerap kali fenomena itu terabaikan,” ungkapnya.

Perwakilan Teater Mlati, Efa Rohmana, mengatakan bersama timnya, dia akan membawakan penampilan berjudul ‘Kota Sampah’, yang merupakan respon dalam menangkap fenomena persoalan sampah yang ada di Yogyakarta, yang tak kunjung usai.

“Konsep penampilan yang akan dibawakan sedikit berbeda dengan konsep teater kebanyakan yang berkomunikasi dengan bahasa verbal. Kali ini akan lebih banyak gerakan tubuh. Konsepnya memang tidak banyak menggunakan bahasa lisan,” tandasnya.

Efa menuturkan, lewat penampilan teater ‘Kota Sampah’ ini pihaknya ingin memberikan pesan kepada masyarakat tentang dampak buruk jika abai terhadap sampah. Sebab sampah yang tak dibuang dengan baik atau tak dikelola dengan bijak maka akan mendatangkan berbagai macam bahaya dan bencana.

“Kami sebelumnya melakukan riset terlebih dahulu sebelum mengambil tema ini. Kami terkesan bisa ikut pentas di panggung besar. Biasanya, kami hanya tampil dari kampung ke kampung,” ungkapnya.

Sedangkan perwakilan Teater Sanggar Anak Alam, Khasanah Rahmawati, mengungkapkan, penampil yang dia gandeng merupakan anak-anak berusia 4-12 tahun. Ia tertarik untuk mengangkat isu tempat bermain anak yang mulai menipis di Kota Jogja.

“Kami ingin menunjukkan fenomena anak-anak yang menginginkan taman bermain di tengah kota. Kami juga mengajak untuk bisa mendengarkan suara anak dan apa yang diinginkan mereka,” katanya.