Art
07 April, 2022 04:48 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, SOLO – Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu pusat industri batik di Kota Bengawan. Tahun 1859-1870an, kampung ini menduduki posisi sentral produksi dan perdagangan batik selain Kampung Kauman.
Di tahun-tahun tersebut, kampung yang terletak di barat Kota Solo itu mengkhususkan pada produksi batik cap untuk konsumsi massa. Di samping pedagang Tionghoa dan Arab, pedagang batik yang berasal dari Kampung Laweyan memegang kendali di kancah pasar regional.
Dinamika industri batik di Laweyan tidak lepas dari seorang tokoh terkemuka yakni Haji Samanhoedi. Tokoh pergerakan kemerdekaan itu dalam masa kejayaannya mendirikan Sarekat Dagang Islam.
Kisah tokoh besar tersebut, tersimpan rapi di Museum Samanhoedi yang bertempat di kompleks kantor Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Solo. Di ruangan sekitar 6 x 12 meter itu terpajang foto-foto dan dokumen yang menjelaskan kehidupan pendiri Sarekat Dagang Islam itu.
Selain menampilkan kisah hidup Haji Samanhoedi, museum itu juga menampilkan perkembangan Serikat Dagang Islam, buku bacaan, dan manekin penggunaan busana batik Laweyan.
Pemandu Wisata Kampung Sondakan, Aziz Okta mengatakan keberadaan Museum Samanhoedi berangkat dari gagasan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Sondakan.
"Pendirian museum ini merupakan gagasan Pokdarwis yang mencanangkan sebagai kampung wisata. Kalau bicara tentang Laweyan, ada tiga hal yakni batik, Serikat Dagang Islam, dan Samanhoedi. Untuk melengkapi aspek desa wisata, kami hadirkan Museum Samanhudi di kompleks kantor Kelurahan Sondakan," terang dia kepada Eduwara.com, Rabu (6/4/2022) di Museum Samanhoedi.
Menurut penuturan Aziz, pada awalnya museum didirikan oleh Yayasan Warna Warni Indonesia di Kelurahan Laweyan pada 23 Agustus 2008. Namun dikabarkan mangkrak, sehingga Pokdarwis Sondakan memindahkan museum beserta koleksi seizin pendiri yayasan, Nina Akbar Tandjung.
Kisah Hidup Sang Saudagar
Walaupun tidak terlalu luas, museum itu bisa menyuguhkan kisah hidup sang saudagar batik asal Laweyan itu secara runtut. Pengunjung dibawa untuk mengikuti alur kehidupan dan kiprahnya dalam percaturan perjuangan kemerdekaan Haji Samanhoedi.
"Haji Samanhoedi adalah saudagar batik dan pendiri Sarekat Dagang Islam. Awalnya beliau ikut organisasi bernama Kong Sing sebagai seksi sosial Bumiputra," terang Aziz.
Samanhoedi kemudian keluar dari organisasi tersebut karena adanya pembedaan menurut tingkat sosial antara Bumiputra dengan non-Bumiputra. Setelah keluar, dia mendirikan Rekso Roemekso.
Organisasi tersebut merupakan cikal bakal Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam di masa kini. Rekso Roemekso sebenarnya merupakan organisasi ronda kampung di Laweyan yang menangani urusan kemasyarakatan seperti kematian dan penjagaan harta benda.
"Dulu itu batik adalah aset berharga orang Laweyan. Untuk penjagaan, beliau mendirikan Rekso Roemekso. Kemudian organisasi itu bertambah besar menjadi Serikat Dagang Islam dan berubah nama Serikat Islam," ujar Aziz.
Perubahan nama dari Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam disebabkan adanya badan hukum dan anggaran dasar organisasi. Perubahan itu juga mengubah haluan yang semula hanya merangkul pedagang menjadi kebangsaan.
Dalam kepengurusan Serikat Islam, Haji Samanhoedi menduduki kursi pimpinan ketika kongres kedua pada tahun 1913. Ketika itu, dia didampingi HOS Tjokroaminoto sebagai wakilnya.
Haji Samanhoedi hanya sebentar menjadi ketua. Kongres selanjutnya yakni di Jogja tahun 1914, tumpuk kepemimpinan dipegang oleh Tjokroaminoto. Sedangkan Haji Samanhoedi menjadi dewan penasihat dan pembina Sarekat Islam.
Menurut Aziz, Haji Samanhoedi adalah orang yang egaliter, pemberani, enterpreneur, dan berjiwa sosial. Dia juga menyebut Haji Samanhoedi sebagai orang kaya baru Laweyan akibat terkena imbas perkembangan batik.
"Dia juga menjadi salah satu orang yang mempopulerkan batik cap, karena ada kampung bernama Sayangan yang merupakan pusat pengrajin tembaga. Awalnya hanya satu sapu tangan, kemudian muncul batik cap, bisa menjadi tiga meter. Dari perkembangan cap ini banyak yang pesan kepada Haji Samanhoedi," ujar dia.
Bagi masyarakat sekitar, kehadiran Museum Samanhoedi bisa mengenalkan adanya tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Laweyan. Kemudian juga meningkatkan wisata berbasis pemberdayaan masyarakat.
"Pemberdayaan masyarakat yang diikat melalui paket wisata. Tidak hanya batik, tapi ada tatah sungging wayang, pengrajin karak, serta semua masyarakat yang aktif berkegiatan di sini. Jadi ditularkan sifat kemandirian dan pembelaan Samanhoedi tentang nilai-nilai kebangsaan," jelas dia.
Sebagai salah satu museum yang menyimpan sejarah Kota Solo, masih sangat disayangkan pengunjung yang datang terbilang sepi. Namun sepi atau ramainya Museum Samanhoedi, semangat tokoh besar dan jiwa keorganiasian Serikat Dagang Islam sudah terpatri dalam masyarakat Laweyan.
"Karena sebagian kelahiran negara ini berkat ikut andilnya organisasi di kampung saya, yaitu Serikat Dagang Islam," pungkas Aziz. (K. Setia Widodo)
Bagikan