Kampus
14 Februari, 2022 20:45 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA - Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Edy Suandi Hamid menyebut dua tahun pandemi, pemilik rekening gendut di Indonesia semakin meningkat.
Ini menunjukkan orientasi ekonomi nasional mengejar pertumbuhan tinggi yang tidak berkualitas, dan berpihak kepada segelintir orang-orang kaya.
"Kondisi ini mengisyaratkan, terdapat situasi kontraksi di saat terjadi pandemi, yang menurut awam terjadi kesulitan ekonomi. Faktanya, pemilik rekening gendut justru lahir pada dua tahun periode pandemi (2020 dan 2021, red)," kata Edy, Senin (14/2/2022).
Pernyataan ini disampaikan Edy saat dirinya menjadi pembicara dalam dialog kemanusiaan bertema 'Mungkinkah Pertumbuhan Ekonomi Beriring Langkah dengan Pemajuan Kemanusiaan?' pada Sabtu (12/2/2022). Edy bersanding dengan dosen dari Universitas Hasanudin Nurhayati Rahman MS dan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Heru Kurnianto Tjahjono.
Dari data yang didapatkan, Edy mengatakan ada sebanyak 317.772 pemilik rekening bank sebesar Rp 2 miliar dan 110.892 pemilik rekening sebesar Rp 5 miliar pada 2020. Kemudian sebanyak 312.385 pemilik rekening sebesar Rp 2 miliar dan sebanyak 117.198 pemilik rekening total sebesar Rp 5 miliar pada 2021.
"Kita bisa melihat pada masa pandemi justru orang kaya naik jumlahnya. Pertumbuhan jumlah orang kaya pada dua tahun masa pandemi lebih tinggi dibanding tiga tahun masa normal," katanya.
Sebelumnya, pada 2019 ada 283.263 pemilik rekening Rp 2 miliar dan 105.912 pemilik rekening Rp 5 miliar. Lalu pada 2018, terdapat 243.606 pemilik rekening sebesar Rp 2 miliar dan 98.089 pemilik rekening Rp 5 miliar, dan pada 2017 terdapat 232.503 pemilik rekening Rp 2 miliar dan 97.231 pemilik rekening Rp 5 miliar.
"Orang-orang kaya di Indonesia semakin banyak, bahkan ada yang masuk dalam golongan orang-orang kaya di Asia. Masalahnya, masih banyak juga yang tidak memiliki rekening bank, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok dari hari ke hari," katanya.
Situasi tersebut menunjukkan tingkat ketimpangan Indonesia makin nyata, apabila dilihat pertumbuhan kekayaan orang kaya jauh lebih besar dari orang miskin. Ini maknanya ketimpangan makin lebar.
Akar masalah dari situasi tersebut, menurut Edy, karena pemerintah menganut sistem pertumbuhan tinggi yang tidak berkualitas. Yaitu, pertumbuhan ekonomi nasional tinggi yang tidak disertai oleh multi efek (multiplier effect) ke ekonomi rakyat.
Situasi itu menunjukkan, para pengambil kebijakan masih berpikir dengan model paradigma pertumbuhan ekonomi masa Orde Baru, yang menganut prinsip bahwa pertumbuhan dan kemajuan sekelompok atau segelintir warga akan otomatik menetes atau berdampak positif dan mengangkat ekonomi rakyat kecil (trickle-down effect).
"Para pengambil kebijakan saat ini menerapkan model kebijakan pertumbuhan berdasarkan teori-teori lama yang sudah mereka pahami, tetapi mereka tidak mengubahnya. Saya berpendapat perlu ada reorientasi pembangunan yang berpihak pada rakyat banyak yaitu ekonomi kerakyatan," tegasnya.
Dosen Unhas Nurhayati Rahman MS menyatakan ketimpangan yang begitu nyata antara orang-orang kaya dan rakyat miskin menunjukkan adanya erosi nilai-nilai kearifan lokal dalam ihwal kemanusiaan dan keadilan.
"Pada masa lalu dalam tradisi Bugis ada rasa perasaan hancur ketika keluarganya makan nasi dengan lauk ayam, sedang tetangga lauknya hanya garam. Nilai-nilai semacam itu hancur, maka ada banyak rakyat yang terzalimi," ujar dia.
Bagikan