Sekolah Kita
05 Agustus, 2022 14:43 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, JOGJA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta memastikan ketidaknyaman yang dialami siswi SMAN I Banguntapan, Bantul, usai pemakaian paksa jilbab disebabkan masifnya pertanyaan guru mengenai agamanya.
Pertanyaan ini konsisten diutarakan usai pemaksaan penggunaan jilbab oleh koordinator guru bimbingan konseling SMAN I Banguntapan pada Rabu (20/7/2022) sampai siswi ditemukan menangis lemas di kamar mandi pada Selasa (26/7/2022).
Kepala ORI DIY Budhi Masthuri menegaskan penegasan ini didapatkan pihaknya usai membicarakan hasil temuan pemeriksaan terhadap para guru dengan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina Muliana Girsang, Jumat (5/8/2022) di kantornya.
"Kami menemukan ketidaknyamanan siswi ini dialaminya sejak Selasa (19/7/2022). Pasca pemaksaan penggunaan jilbab, ketidaknyamanan ini dihadirkan terus lewat pertanyaan yang fokus pada isu soal identitas keagamaan. Tidak ada isu lain," kata Budhi.
Jadi kalau pihak sekolah mengatakan siswi ini mengalami masalah keluarga dan lain sebagainya, Budhi memastikan hal tidak tergambar dari hasil temuan ORI DIY. Ia juga mempertegas, jika guru memang ingin bertanya mengenai agama siswa, apakah tidak bisa dari daftar absen maupun data lain yang dimiliki sekolah. "Pertanyaan mengenai agama ini menimbulkan rasa ketidaknyamanan pada siswa," jelasnya.
ORI dan Itjen Kemendikbud sepakat, berdasarkan rekaman CCTV, mendeskripsikan pemakaian jilbab ada unsur paksaan. Budhi mengatakan ini terlihat dari bagaimana bahasa tubuh yang diperlihatkan siswi saat berhadap dengan tiga orang dewasa dalam jarak dekat. "Bahkan saat inisiator dan koordinator guru BK memasangkan jilbab, siswi terlihat menunduk di gambar. Ini sudah memenuhi kriteria pemaksaan," kata Budhi.
Secara khusus Budhi juga menyampaikan hasil temuan ke Itjen khususnya dasar utama SMAN I Banguntapan menerapkan program dan kegiatan berbasis keagamaan berlebihan, terutama pada indikator penilaian proses akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).
"Kemendikbudristek memberikan atensi mengenai temuan soal instrumen penilaian akreditasi yang sangat mungkin dimaknai dan diterjemahkan oleh satuan pendidikan paling bawah berbeda, karena pilihan diksi, pilihan kalimat. Hal itu yang kemudian bisa memberikan pemahaman yang berbeda oleh satuan pendidikan," terangnya.
Dalam parameter penilaian akreditasi poin kedua tertulis 'Siswa menunjukkan perilaku religius dalam aktivitas di sekolah/madrasah'. Parameter ini memiliki indikator penilaian berupa, siswa menunjukkan perilaku religius yang membudaya sesuai ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah/madrasah. Indikator ini memiliki poin tertinggi sebanyak 4.
Kemudian indikator berikutnya, ‘Siswa menunjukkan perilaku religius sesuai ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya dalam kehidupan sehari hari di sekolah/madrasah’. Poinnya 3.
Indikator ketiga dengan poin 2, Siswa belum konsisten menunjukkan perilaku religius sesuai ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah/madrasah'.
Terakhir, indikator yang memiliki poin penilaian 1, ‘Siswa berperilaku religius karena mematuhi tata tertib sekolah/madrasah’.
Kedua pihak sepakat dan sependapat persoalan harus dilihat secara menyeluruh tidak hanya dilihat dari kasus Banguntapan, tapi juga perlu mencermati bersama potensi kasus semua sekolah di DIY dan termasuk dengan melihat sistem kebijakan yang ada sampai ke pusat.
"Karena tuntutan indikator penilaian akreditasi, anak-anak yang sejalan dengan ini, tidak sesuai dengan identitas, tidak shalat bisa dianggap menjadi penghalang mendapat nilai akreditasi tinggi. Program agama di sekolah di-create untuk mendapatkan nilai tinggi," tutup Budhi.
Bagikan