Kampus
31 Juli, 2024 19:32 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengukuhkan dua dosen dari Fakultas Hukum (FH) sebagai Guru Besar pada bidang berbeda, Selasa (30/7/2024). Dua Guru Besar tersebut adalah Hanafi Amrani sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana dan Winahyu Erwiningsih sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Agraria dan Pajak.
Di atas mimbar dalam Sidang Senat Terbuka yang digelar di Auditorium KH Abdul Kahar Muzakkir, Hanafi Amrani menawarkan paradigma baru penanganan kejahatan kerah putih (white-collar crime).
Dalam pidato berjudul ‘Pergeseran Paradigma Hukum Pidana dalam Merespon Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan Bisnis’, Hanafi menyebut paradigma hukum pidana berbasis ekonomi berpotensi besar meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Dipaparkannya, saat ini pelaku kejahatan tidak lagi mutlak berasal dari orang-orang yang berstatus sosial ekonomi rendah. Dengan kemajuan, justru kejahatan banyak dilakukan orang-orang yang mempunyai status sosial-ekonomi tinggi dan mempunyai kedudukan terhormat dalam masyarakat.
“Kejahatan seperti ini dikategorikan oleh para ahli sebagai white-collar crime. Salah satu bentuk dari white-collar crime adalah kejahatan di bidang bisnis (business crime),” katanya.
Menurut Hanafi, kejahatan bisnis memiliki karakteristik khusus sekaligus menjadi motivasi utama, yaitu ekonomi yang diwujudkan dengan hadirnya dorongan mendapatkan keuntungan finansial atau manfaat ekonomi lainnya bagi pelaku usaha.
Pelaku usaha yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, posisi yang dihormati, bahkan memiliki akses luas kepada sumber daya yang melimpah membuat jenis kejahatan ini terlampau sukar dimintakan pertanggungjawaban hukum.
“Seiring perkembangan ekonomi dan teknologi, kejahatan bisnis dijalankan dengan memanfaatkan berbagai celah dalam sistem hukum yang ada. Modus operandi yang dijalankan melibatkan kompleksitas transaksi dengan skema yang begitu rumit,” paparnya.
Moral Intrinsik
Hanafi memaparkan banyak negara, termasuk Indonesia, melihat kejahatan kerah putih ini merupakan pelanggaran hukum tanpa mempertimbangkan aspek moralitas intrinsik dari perbuatan tersebut.
Masalahnya muncul ketika kejahatan bisnis acapkali memiliki dampak yang meluas dan signifikan terhadap masyarakat dan lingkungan. Seringkali, sanksi yang diberlakukan terhadap kejahatan bisnis adalah dalam bentuk sebatas sanksi administratif atau denda saja.
“Dibutuhkan pendekatan hukum yang lebih holistic, yang tidak hanya mengandalkan pada mala prohibita, tetapi juga mempertimbangkan keadilan restoratif dan rehabilitasi lingkungan sangat krusial untuk diterapkan,” terangnya.
Pasalnya, lanjut Hanafi, kebijakan penegakan hukum di Indonesia cenderung memilih hukuman badan sebagai bentuk utama penalti terhadap pelaku kejahatan bisnis. Hukuman penjara menjadi pilihan utama karena dianggap mampu memberikan efek jera yang lebih kuat terhadap para pelaku kejahatan.
Hanafi menawarkan paradigma hukum pidana berbasis ekonomi di mana hukum diterapkan dengan mementingkan pada pemulihan kerugian, pencegahan, dan efek jera. Pendekatan ini diharapkan memberikan kontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Dalam Sidang Senat Terbuka tersebut, Winahyu Erwiningsih juga menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul ‘Politik Hukum Kebijakan Pemanfaatan Tanah sebagai Agenda Reformasi Agraria’.
Lewat naskah setebal 60 halaman, Winahyu fokus membahas ketersediaan tanah yang terbatas diharapkan mampu memenuhi sebanyak mungkin kepentingan warga bangsa sehingga perlu diatur berdasarkan kesepakatan kita bersama berdasarkan hukum kesejahteraan.
“Di mana bersama pemerintah memikul tanggung jawab bersama untuk menciptakan keadilan sosial dan sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tutupnya.
Bagikan