UII Yogyakarta Tambah Dua Guru Besar Baru

15 Agustus, 2025 01:29 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

14082025-UII Gubes Baru.jpg
UII Yogyakarta menambah dua guru besar yang berasal dari dari Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) dan Fakultas Teknologi Industri (FTI), pada Kamis (14/8/2025). Kedua guru besar tersebut adalah Subhan Afifi, dosen FISB, yang ditetapkan sebagai guru besar bidang Komunikasi Publik dan Sholeh Ma’mun, dosen FTI, yang ditetapkan sebagai guru besar bidang Rekayasa Reaksi Kimia Heterogen. (EDUWARA/Dok. UII Yogyakarta)

Eduwara.com, JOGJA – Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Kamis (14/8/2025) resmi menambah dua guru besar baru yang berasal dari dari Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) dan Fakultas Teknologi Industri (FTI).

Kedua guru besar tersebut adalah Subhan Afifi, dosen FISB yang ditetapkan sebagai guru besar bidang Komunikasi Publik dan Sholeh Ma’mun, dosen FTI yang ditetapkan sebagai guru besar bidang Rekayasa Reaksi Kimia Heterogen.

Dalam pidato pengukuhannya, Subhan mengangkat tema ‘Komunikasi Publik Bidang Kesehatan: Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital’. Tema ini menyoroti fenomena ketidakpekaan pemegang otoritas terhadap perasaan dan konteks sosial, terlebih saat pandemi Covid-19, yang menandakan kurang perhatiannya pemegang otoritas terhadap komunikasi publik bidang kesehatan.

“Komunikasi publik bidang kesehatan adalah salah satu pilar vital dalam strategi komunikasi publik pemerintah, yang tidak hanya bertujuan menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk perilaku, meningkatkan kesadaran kolektif, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kesehatan bersama,” kata Subhan Afifi dikutip dari rilis, Kamis (14/8/2025).

Sayangnya, menurut Subhan, untuk konteks komunikasi publik di Indonesia, kajian komunikasi kesehatan (HealthCommunication) masih relatif termarginalkan di tengah bidang-bidang kajian komunikasi publik dalam dimensi politik dan ekonomi.

Padahal, di era digital, lanskap komunikasi kesehatan berkembang pesat seperti platform daring yang memungkinkan interaksi real-time antara otoritas kesehatan dan masyarakat, tetapi juga memicu tantangan seperti misinformasi, infodemi, dan fragmentasi narasi.

“Penguatan pondasi akademik menjadi krusial. Perguruan tinggi perlu memperkuat kurikulum dan pembelajaran komunikasi kesehatan, tidak hanya di program studi komunikasi tetapi juga melalui pendekatan lintas disiplin seperti kesehatan masyarakat, kedokteran, teknologi informasi, psikologi, dan kebijakan publik,” katanya.

Subhan meyakini penting menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu memahami kompleksitas isu kesehatan dari berbagai sudut pandang. Lebih jauh, perlu dibentuk Pusat Studi Komunikasi Kesehatan (Center for Health Communication) yang berfungsi sebagai pusat riset, pelatihan, dan advokasi.

Teknologi CCUS

Sementara, melalui pidato berjudul ‘Teknologi Tangkap-Guna-Simpan Karbon: Pilar Strategis Menuju Indonesia Netral Karbon’, Sholeh Ma’mun menyampaikan keresahannya terhadap triplecrisis yang dihadapi oleh dunia saat ini, hingga pada tahun 2023 menjadi salah satu tahun terpanas sepanjang sejarah.

“Meskipun memiliki peran penting sebagai paru-paru dunia, Indonesia juga tercatat sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar ke-7 di dunia, terutama dari penggunaan energi fosil, aktivitas industri, dan deforestasi. Untuk itu, Indonesia menargetkan NetZero Emission (NZE) pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat, selaras dengan komitmen global dalam menghadapi krisis iklim,” paparnya.

Menurut Sholeh Ma’mun, salah satu senjata andalan menuju NZE adalah teknologi Tangkap-Guna-Simpan Karbon (Carbon Capture, Utilization, and Storage – CCUS), teknologi yang menangkap CO2 dari industri atau pembangkit listrik. Kemudian, memanfaatkannya kembali untuk EnhancedOil Recovery (EOR) dan pembuatan produk bernilai seperti bahan bakar, pupuk, pemadam api, minuman bersoda, dan beton ramah lingkungan, atau menyimpannya permanen di bawah tanah.

“Dari perspektif Islam, CCUS bukan hanya sekadar inovasi teknologi, melainkan wujud nyata amanah manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga keseimbangan alam (mizan) dan mencegah kerusakan lingkungan. Setiap upaya menurunkan emisi karbon sejatinya adalah bentuk ibadah sosial, sebuah ikhtiar kolektif untuk melindungi bumi, demi keberlangsungan hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang,” jelasnya.

Dengan integrasi iman, ilmu, dan inovasi, CCUS dapat menjadi jembatan menuju Indonesia yang tangguh iklim, adil secara sosial, dan lestari secara ekologis yang dapat membuktikan bahwa teknologi dan nilai-nilai spiritual bisa berjalan seiring untuk masa depan bumi