Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA—Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memastikan pengembangan vaksin Merah Putih untuk Covid-19 tetap berlanjut meskipun menghadapi sejumlah tantangan.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyampaikan laporan kemajuan pengembangan vaksin merah putih kepada pimpinan dan anggota Komisi VII DPR RI pada rapat dengar pendapat di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin (24/01/2022).
Pengembangan vaksin selama ini dilaksanakan oleh tujuh tim yakni tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI) yang terbagi ke dua tim, LBM Eijkman, Universitas Padjadjaran (Unpad), LIPI dan Universitas Airlangga (Unair).
Handoko menegaskan, dalam konteks vaksin merah putih, permasalahan utama yang dihadapi adalah, Indonesia belum pernah memiliki tim yang berpengalaman sampai uji klinis dalam pengembangan vaksin dari awal.
Pengalaman tim periset dalam pengembangan vaksin baru sampai uji praklinis. Untuk itulah semua tim yang ada bekerja dengan keras melakukan percobaan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
“Sebagian besar vaksin yang diproduksi di Biofarma itu masih berbasis lisensi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para periset BRIN,” kata Handoko seperti dikutip dari situs resmi BRIN, Senin (25/01/2022).
Permasalahan lainnya, ungkap Handoko, Indonesia belum memiliki fasilitas uji terbatas yang berstandar Good Manufacturing Practices (GMP). Selain itu belum mempunyai fasilitas animal BSL 3 sebagai salah satu fasilitas penting untuk melakukan uji pra klinis.
“Uji pra klinis pertama kita menggunakan mencit, itu kita sudah punya di Cibinong, tapi untuk uji yang menggunakan makaka kita tidak siap,” ungkap Handoko.
Untuk itulah, BRIN berupaya membangung fasilitas uji terbatas berstandar GMP dan fasilitas uji animal BSL 3 untuk makaka yang berkapasitas 80 ekor. Sebelum terintegrasinya lembaga riset ke BRIN, LIPI bersedia membangun fasilitas BSL 3, namun tidak siap untuk membuat program berkelanjutan dalam memanfaatkan fasilitas tersebut.
“Setelah integrasi ini, maka kami mempunyai kompetensi untuk membangun sekaligus membuat program pemanfaatan yang berkelanjutan,” tambahnya.
Dengan terbangunnya dua fasilitas ini, Handoko berharap bisa mendorong percepatan penyelesaian vaksin di Indonesia, tidak hanya vaksin merah putih saja, melainkan juga vaksin yang lain.
Fasilitas ini akan meningkatkan kemampuan para periset khususnya yang berkecimpung dalam penyediaan vaksin yang pada akhirnya dapat menambah pengalaman dalam mengembangkan vaksin.
Untuk mendukung program pengembangan vaksin merah putih, Handoko menjelaskan, BRIN menetapkan 3 fokus riset terkait penanganan Covid-19.
Ketiga fokus riset tersebut yakni pengembangan vaksin merah putih, pengembangan alat deteksi/skrining alternatif RT-PCR, dan surveilans berbasis whole genome sequencing (WGS).
“Dengan integrasi layanan WGS dari LBM Eijkman dan LIPI maka kapasitas sampel yang akan diuji menjadi lebih besar dan biaya untuk melakukan WGS dapat ditekan menjadi jauh lebih murah,” jelasnya.
Terhadap vaksin yang dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Handoko menyatakan bahwa BRIN mendukung upaya ini. Dukungan ini diberikan BRIN mengingat riset pengembangan vaksin merah putih masih bersifat penelitian dan ada kemungkinan gagal, sehingga keberadaan vaksin BUMN dapat saling melengkapi.