logo

Kampus

Belajar Langsung dari Lingkungan Lebih Penting Dibanding Memanfaatkan AI

Belajar Langsung dari Lingkungan Lebih Penting Dibanding Memanfaatkan AI
Endro Dwi Hatmanto, pakar Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Strategi Pembelajaran UMY (EDUWARA/Dok. UMY)
Setyono, Kampus02 Juli, 2025 00:53 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Pakar pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menilai pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) adalah penting. Namun, pengalaman langsung dengan lingkungan sekitar dalam proses belajar masih dianggap paling penting dan tentunya menjadikan AI sebagai pembanding data.

Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang juga pakar Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Strategi Pembelajaran, Endro Dwi Hatmanto, menilai AI mulai memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, dari cara orang bekerja, belajar, hingga berinteraksi. Kemampuannya dalam memproses data, menjawab pertanyaan, dan menyusun teks menjadikan AI sebagai alat yang semakin populer, terutama di kalangan generasi muda.

“Khususnya penggunaan di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang merupakan bagian dari revolusi digital pendidikan, tak bisa dihindari. Namun perlu ditegaskan, AI seharusnya tidak diposisikan sebagai pengganti otak manusia, melainkan sebagai co-pilot dalam proses pembelajaran,” jelas Endro Dwi Hatmanto, dilansir Selasa (1/7/2025).

Dipaparkan Endro, dari sudut pandang kognitif, AI ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, AI bisa memberikan dampak positif, seperti memfasilitasi scaffolding kognitif, seperti menyediakan penjelasan tambahan, ilustrasi konsep sulit, atau menawarkan berbagai perspektif. Namun di sisi lain, jika digunakan secara pasif, misalnya hanya untuk mencari jawaban atau menulis paragraf, AI justru dapat menghambat proses berpikir reflektif dan analitis.

Endro menegaskan risiko penurunan daya analitis sangat mungkin terjadi jika peserta didik terlalu bergantung pada AI tanpa keterlibatan kognitif aktif. Hal ini menghilangkan kesempatan penting untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi.

“Jika AI dijadikan pengganti dalam proses berpikir analitis, peserta didik akan mengalami cognitive struggle, yakni pergulatan intelektual yang justru sangat penting dalam membentuk kemampuan analisis,” tambahnya.

Tantangan Utama

Menyikapi kondisi ini, Endro berharap para pendidik dituntut menyikapi revolusi AI ini sebagai peluang berinovasi dalam proses pengajaran. Tantangan utama bukan pada kehadiran teknologinya, melainkan kesiapan sistem pendidikan dan tenaga pengajar dalam membimbing generasi muda agar mampu memanfaatkan AI secara etis, bertanggung jawab, dan produktif.

“Misalnya, dosen bisa merancang tugas yang mendorong mahasiswa menggunakan AI secara reflektif, bukan sekadar menyalin hasil, tetapi mengkritisi, membandingkan dengan sumber lain, serta menyajikan analisis berdasarkan sudut pandang pribadi,” jelasnya.

Pada bagian lain, pendiri Sekolah Alam Yogyakarta (SALAM) Sri Wahyaningsih, menegaskan keberadaan dan pemanfaatan AI sangatlah penting. Tapi yang perlu diingat, proses pembelajaran yang baik itu seharusnya tidak tergantung teknologi maupun buku-buku paket.

“Kita menginginkan proses belajar mengajar yang melibatkan anak didik untuk mengenal terlebih dahulu dengan lingkungan sekitar yang dekat dengannya,” paparnya.

Dengan memahami lebih jauh tentang esensi kehidupan, sebagai makhluk sosial dan berinteraksi, ke depan, anak didik akan memiliki kemampuan untuk berada dalam situasi apapun. Bagi Wahya, pemanfaatan teknologi hanya sebagai pelengkap referensi bukan tempat mendapatkan ilmu.

“Saya masih melihat, proses pendidikan yang baik itu adalah mengajak anak didik untuk mengamati, menyentuh dan bertanya langsung dengan apa yang dihadapi di lapangan. Ini akan menjadi proses untuk menemukan pengetahuan sendiri yang akan terus tertanam di otak,” tutupnya.

Read Next