logo

Kampus

Guru Besar UII: Jurnalis dan Akademisi Hadapi Tekanan Struktural

Guru Besar UII: Jurnalis dan Akademisi Hadapi Tekanan Struktural
Dua dosen UII, yaitu Masduki dan Tamyiz Mukharrom, menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar, di Kampus UII, Selasa (25/6/2024). Masduki dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya UII, sedangkan Tamyiz Mukharrom sebagai Guru Besar Ilmu Ushul Fikih Fakultas Ilmu Agama UII. (EDUWARA/Dok. UII)
Setyono, Kampus26 Juni, 2024 01:02 WIB

Eduwara.com, JOGJA - Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masduki mengungkapkan ada kesamaan antara profesi jurnalis dengan akademisi.

“Keduanya membawa misi produksi dan diseminasi pengetahuan sebagai public goods,” kata Masduki, Selasa (25/6/2024), di Kampus UII.

Menurut Masduki, kedua profesi tersebut, yaitu jurnalis dan akademisi, ibarat dua sisi mata uang yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik dan saling melengkapi. Sebagai dua sisi mata uang, jurnalis dan akademisi juga menghadapi tekanan struktural yang tinggi sejak Orde Baru hingga pasca reformasi ini. 

Namun, lanjut Masduki, meski menghadapi tekanan yang sama, kedua profesi ini menjadi berbeda. Jurnalisme dan jurnalis tetap terus berada di lapangan, memberi warna bagi demokratisasi informasi, sedangkan akademisi justru tersandera dalam ruang gelap (darkacademia) peradaban.

Sebagai akademisi, Masduki juga mengungkapkan jika Ilmu Komunikasi di Indonesia belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ilmu Komunikasi belum dapat menjawab kompleksitas persoalan sosial dan justru dipandang sebagai pendukung pembangunan dan industrialisasi.

"Alih-alih menjadi mitra kritis, Ilmu Komunikasi justru melakukan adjustment kebijakan developmentalisme yang menjadi mantra politik liberalisme dan kontrol industri digital global," katanya.

Pendidikan Komunikasi, menurut Masduki, bukan seperti yang digambarkan Freire sebagai pembebasan manusia, akan tetapi justru menjadi bagian dari politik penundukan. 

Bahkan, bersamaan masih kuatnya mazhab developmentalisme, terjadi adaptasi dan akomodasi kepada kekuatan pasar media dan komunikasi yang liberalistik, dan adopsi pendekatan kajian lintas ekonomi-politik dan cultural studies yang bercorak kritis pada kurikulum.

Pada waktu dan tempat yang sama, UII juga mengukuhkan Tamyiz Mukharrom sebagai Guru Besar Ilmu Ushul Fikih Fakultas Ilmu Agama UII. Dalam pidato pengukuhannya, Tamyiz mengemukakan banyaknya problematika kontemporer yang muncul, menuntut fikih (fiqh) untuk dapat menjawab.

"Atas dasar itulah kemudian muncul pemikiran bahwa Ushul Fikih sebagai metodologi penghasil fikih harus mengalami pembaharuan atau tajdid," katanya.

Read Next