logo

Sekolah Kita

Guru SLB Bekerja Ekstra Saat PJJ

Guru SLB Bekerja Ekstra Saat PJJ
Ketua Pusat Studi Disabilitas LPPM UNS Munawir Yusuf saat diwawancarai Eduwara.com. (EDUWARA/M. Diky Praditia)
M. Diky Praditia, Sekolah Kita17 Februari, 2022 19:30 WIB

Eduwara.com, SOLO – Pembelajaran jarak jauh (PJJ) di Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak dapat dilaksanakan seperti pada sekolah umum. Para guru SLB perlu mengeluarkan tenaga ekstra agar siswa tetap mendapatkan pelajaran sekolah.

Hal itu seperti yang terjadi di SLB E Bhina Putra Solo, sekolah bagi anak yang berkebutuhan khusus tuna laras atau anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Guru di sekolah yang terletak di Banjarsari itu melakukan home visit kepada siswa-siswa yang tidak mungkin belajar secara daring.

Salah satu guru SLB E Bhina Putra, Retno menjelaskan hal itu dilakukan mengingat kondisi siswa yang beragam. 

“Karena kami tidak hanya menerima dan menangani anak tuna laras saja, tetapi juga anak berkebutuhan khusus lain, selama kondisi khusus itu tidak berat. Misalnya, anak tuna rungu atau tuna daksa ringan,” kata Retno saat ditemui Eduwara.com di Ruang Guru SLB E Bhina Putra Solo.

Meski PJJ, lanjut Retno, guru-guru tetap melayani secara individual dengan cara berkunjung ke rumah siswa yang tidak bisa menjalani PJJ karena kondisi anak itu sendiri. 

“Kalau memang ada siswa yang bisa belajar secara daring menggunakan handphone, kami tidak perlu berkunjung ke rumah siswa itu,” ujar dia.

Menurut dia, beberapa siswa ada yang masih kesulitan mengoperasikan komputer dan gawai. Bahkan ada siswa yang belum bisa membaca meskipun sudah cukup besar, seusia anak SMP dan SMA. 

“Jadi guru bisa mengajar lima siswa setiap hari dengan cara home visit. Biasanya durasi belajar selama satu jam,” jelas Retno.

Video Call

Sementara itu, Kepala Sekolah SLB B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara (YRTRW) Sutandi menyampaikan saat melaksanakan PJJ pihaknya lebih memilih untuk menggunakan aplikasi percakapan WhatsApp sebagai media belajar.

“Di sini kan khusus siswa tuna rungu ya, sehingga ketika PJJ masih bisa dilakukan secara luring dengan cara video call WhatsApp. Kami gunakan fitur WhatsApp yang bisa digunakan video call sampai empat orang dalam satu panggilan,” beber Sutandi.

Sutandi memilih menggunakan WhatsApp karena dinilai lebih sederhana dan praktis untuk digunakan. Siswa dari semua jenjang, SD, SMP, dan SMA sudah banyak yang bisa mengoperasikan aplikasi percakapan tersebut. 

Yang menjadi masalah, kata dia, adalah siswa yang masih SD kelas I, II, dan III. Sebab masih minim perbendaharaan kata yang diketahui. 

“Karena siswa yang tergolong masih baru tersebut belum banyak menerima pembelajaran secara luring. Jadi semacam ada ketertinggalan pelajaran,” ucap dia.

Untuk mengejar ketertinggalan, sekolah melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dengan kuota siswa 50 persen. Senin dan Selasa jenjang SMP-SMA melaksanakan PTM. Sedangkan jenjang SD mulai Rabu, Kamis, dan Jumat. 

“Kami sengaja buat seperti itu karna untuk mengejar ketertinggalan pelajaran yang dialami oleh anak-anak SD, khususnya pada kelas-kelas awal,” ungkap Sutandi.

Terkait PJJ untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), Kepala Pusat Studi Disabilitas UNS Munawir Yusuf menegaskan PJJ sangat tidak efektif diterapkan pada ABK untuk jenis-jenis tertentu. Hal tersebut karena siswa ABK memerlukan sentuhan fisik dalam porses pembelajaran. 

“Ada anak yang, untuk mengucapkan kalimat Ini Ibu Budi saja memerlukan waktu berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan. Apalagi untuk siswa yang membutuhkan pelatihan motorik,” kata Yusuf yang juga Dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa UNS.

Maka dalam persepektif pendidikan, menurut dia, jauh lebih baik kegiatan belajar ABK dilaksanakan secara luring langsung di sekolah. Hanya saja, melihat kondisi pandemi Covid-19 sekolah terpaksa harus melakukan PJJ.

“Sebenarnya cukup disayangkan, tapi kesehatan memang harus diutamakan, jangan sampai tidak diperhatikan,”jelas dia.

Read Next