Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO – Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang telah diprogramkan pemerintah menjadi langkah strategis bagi sekolah agar memiliki satuan organisasi kebencanaan dan menguatkan pendidikan mengenai mitigasi bencana.
Namun demikian, hal mendasar yang harus dipastikan tetap terkait konstruksi atau infrastruktur sekolah yang harus aman ketika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Terlebih lagi, hal tersebut sekolah menjadi salah satu pilar pokok dari SPAB. Jika dalam pengadaan atau pembuatan infrastruktur sekolah tidak sesuai dengan perencanaan, maka secara tidak langsung bangunan sekolah menjadi rawan terhadap bencana.
“Andaikata dalam pembuatan konstruksi sekolah tidak sesuai dengan semestinya, misalnya campuran bahan bangunan harus sekian tetapi malah dikurangi, itu kan menjadi rawan. Untuk itu, sekolah harus mengawal dan memitigasi bangunan-bangunannya,” kata Ketua Forum Search and Rescue (SAR) Kota Solo, Slamet Mulyadi kepada Eduwara.com, Kamis (1/12/2022).
Mulyadi memberi contoh ketika terjadi kebakaran. Selain setiap sekolah harus ada alat pemadam api ringan, alat penunjuk arah, dan tempat berkumpul, konstruksi tangga juga berpengaruh ketika upaya penyelamatan diri.
Menurut dia, konstruksi tangga setidaknya bisa memuat minimal tiga orang untuk berjajar. Karena, ketika terjadi keributan masih ada space longgar. Berbeda dengan tangga yang hanya muat dua orang karena bisa mengakibatkan penuh sesak bahkan memungkinkan akan ada korban.
“Jadi infrastruktur harus dilihat betul. Namun yang jadi masalah ketika sekolahnya sudah jadi dan mau membongkar kembali kan sulit. Anggaran dari BOS juga tidak memungkinkan,” kata dia.
Mindset Kebencanaan
Dibandingkan dengan Jepang, lanjut Mulyadi, masyarakat di Indonesia bisa dibilang kurang memahami berbagai hal tentang kebencanaan. Mulai anak usia dini, guru, tenaga kependidikan, dan infrastruktul betul-betul diperhatikan keamanannya ketika terjadi bencana.
“Jadi mindset-nya di sana ketika menghadapi bencana sudah tahu dan paham langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Hal ini yang menurut saya harus dilakukan sekolah-sekolah di Kota Solo. Tidak hanya sekolah, namun juga perkantoran, rumah sakit, dan lainnya,” ungkap dia.
Mulyadi menambahkan, kesadaran akan kebencanaan di sekolah masih dirasa kurang. Kalaupun dilakukan, hanya sekadar menaati perintah atau kebijakan dari pusat. Tetapi hal itu tidak bisa disalahkan, karena terkait dengan biaya yang dibutuhkan.
Hal tersebut turut menjadi dilema dan problema sehingga pemangku kebijakan juga harus berpikir demikian. Kemudian jika sekolah mengajukan anggaran juga harus disetujui.
“Jangan hanya menganjurkan tetapi tidak disetujui. Kalau seperti itu, bagi saya lebih baik tidak usah dianjurkan saja,” tukas dia yang juga pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kota Solo itu.
Oleh karena itu, Mulyadi berharap program-program terkait kebencanaan dari berbagai sektor bisa terlaksana dengan optimal. Selain itu, sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kota Solo, Cabang Dinas Wilayah VII, maupun perguruan tinggi untuk segera membuat Sekretariat Bersama (Sekber) dilanjutkan program kerja dan diterapkan. (K. Setia Widodo)