
Bagikan:

Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Setelah dua tahun berturut-turut sukses digelar di pusat kota, gelaran tahunan Jogja Mendongeng 2025 tampil dengan suasana berbeda. Memasuki tahun ketiga, festival ini mengusung konsep jelajah desa dan memilih lokasi di Sanggar Kinanti, Minggir, Sleman, pada Sabtu (20/12/2025).
Tahun ini, Jogja Mendongeng mengangkat tema "Gugur Gunung". Tema tersebut dipilih sebagai respons terhadap kondisi bangsa saat ini sekaligus upaya nyata memperkenalkan kembali kearifan lokal masyarakat kepada generasi muda.
"Tema 'Gugur Gunung' menjadi semangat yang mendasari pelaksanaan event tahun ini. Kami ingin mengajak anak-anak dan orang tua merefleksikan kembali semangat berbagi, saling menjaga, dan membantu sesama manusia," ujar penggagas acara, Diaz Radityo, dalam rilis resminya, Senin (22/12/2025).
Berbeda dengan panggung tertutup di Auditorium IFI-LIP seperti tahun-tahun sebelumnya, Direktur Artistik dan Manajemen Pertunjukan Jogja Mendongeng, Rangga Dwi Appriadinnur, menjelaskan bahwa tahun ini mereka melakukan eksperimen dengan mendekatkan dongeng langsung ke alam.
"Kami mencoba menantang para pendongeng untuk memaksimalkan media yang ada di lokasi dan mengajak penonton berinteraksi secara aktif. Kami ingin menghentikan waktu sejenak di zaman yang serba cepat ini agar penonton benar-benar bisa menikmati pertunjukan," jelas Rangga.
Lintas Genre
Tak hanya sekadar tontonan, Jogja Mendongeng 2025 juga berkolaborasi dengan warga sekitar sebagai wujud nyata pemberdayaan masyarakat desa. Sejumlah pendongeng lintas genre turut memeriahkan suasana di pedesaan Sleman tersebut.
Sanggar Wiwitan tampil memukau dengan dongeng berbahasa Jawa yang dibawakan oleh talenta muda. Sementara itu, Jieun Lab memberikan warna berbeda melalui dongeng bertema sains, dan Kak Lita memadukan ceritanya dengan lagu-anak berbahasa Jawa yang edukatif.
Keunikan lain muncul dari Wayang Kebon yang menggunakan media wayang dari rumput, serta penampilan memikat dari pendongeng cilik berprestasi, Zahra. Acara ditutup dengan apik lewat kolaborasi antara Kak Diaz dan Kak Rangga.
Konsep jelajah desa ini mendapat sambutan hangat. Natalia, salah seorang penonton, menilai kegiatan ini sangat penting untuk menjangkau pelosok daerah.
"Acara seperti ini harus diperbanyak agar anak-anak tidak hanya mendapat tontonan, tapi juga tuntunan," katanya.
Senada dengan Natalia, penonton lainnya, Ayik, berharap frekuensi acara serupa dapat ditambah pada masa mendatang.
"Kalau boleh, jangan cuma setahun sekali, tapi setahun dua kali," pungkasnya.
Dengan semangat kesederhanaan namun penuh makna, Jogja Mendongeng 2025 berhasil membuktikan bahwa cerita rakyat dan kearifan lokal tetap memiliki daya pikat kuat di tengah arus modernisasi.