Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, MALANG — Menyelesaikan sengketa tidak melulu harus lewat pengadilan. Penyelesaian sengketa bisa dilakukan lewat mediasi. Proses penyelesaian sengketa ini bisa dibaca di buku berjudul ‘Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa’ karya Tinuk Dwi Cahyani, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM).
Tinuk, sapaan akrabnya, mengatakan ketertarikannya menulis buku tersebut didasarkan pada pengamatan bahwa dalam menyelesaikan sengketa, masyarakat Indonesia cenderung memilih jalur pengadilan. Padahal ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni mediasi.
Menurut Tinuk, masyarakat masih kurang mengetahui bagaimana proses mediasi. Padahal ini menjadi alternatif yang bisa dicoba selain arbitrase untuk perkara perdata seperti harta bersama.
Dalam buku tersebut, Tinuk tidak hanya menulis beragam teori saja, namun juga memberikan contoh proses dan dialog yang biasa digunakan.
"Jadi pembaca bisa mengetahui dan sedikit merasakan jalannya mediasi. Di antaranya terkait bagaimana mediator membuka hingga menutup, apa yang harus disampaikan pihak satu dan pihak lainnya. Saya rasa pembaca bisa dengan mudah memahami isi buku ini," kata perempuan kelahiran Madiun tersebut.
Tinuk menegaskan, di negara maju seperti Amerika Serikat, warganya sudah memahami alternatif sengketa selain melalui pengadilan. Lewat buku tersebut, Tinuk ingin memberikan sumbangsih keilmuan dan wawasan bagi masyarakat luas.
Akta Perdamaian
Adapun produk hukum dari mediasi ini adalah akta perdamaian yang nantinya bisa didaftarkan ke pengadilan. Kemudian dijadikan sebagai penetapan maupun putusan.
"Alasan lain, ya agar masyarakat tidak sedikit-sedikit ke pengadilan. Apalagi kalau lewat pengadilan, prosesnya akan sangat panjang serta putusannya diberikan oleh hakim. Berbeda dengan mediasi yang didalamnya ada negosiasi. Jadi para pihak bisa menemukan jalan tengah yang baik bagi keduanya," tuturnya.
Selama menulis buku yang diterbitkan oleh UMM Press pada Maret 2022 itu, Tinuk tidak banyak mengalami kendala. Satu hal yang membuatnya kesulitan adalah terkait minimnya literatur yang mengkaji mediasi. Hal ini berbeda dengan arbitrase yang literaturnya kini sudah tersedia cukup banyak.
Beruntung, Tinuk sempat mengikuti pelatihan mediator yang bersertifikat Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu. Hal itu memberikan banyak materi dan sumbangsih dalam penyusunan bukunya sehingga ia tidak kekurangan bahan. Apalagi, kini Tinuk juga merupakan mediator sehingga akan banyak kasus dan pengalaman yang bisa dibagikan lewat buku tersebut.
"Saya berharap buku baru ini bisa menambah literatur dan wawasan masyarakat terkait mediasi. Dengan begitu mereka dapat lebih jelas memahami. Apalagi sudah dilengkapi dengan beberapa contoh dan dialog sehingga para pembaca bisa merasakan prosesnya," ucapnya.