Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, MALANG — Membangun kewarganegaraan digital harus dilakukan sejak dini, dan harus dimulai dari budaya sekolah.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kokom Kumalasari, menegaskan konsep kewarganegaraan digital merujuk pada kualitas perilaku individu dalam berinteraksi di dunia maya, khususnya dalam jejaring sosial dengan menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab sesuai dengan norma dan etika yang berlaku.
Dalam kewarganegaraan digital, ada prinsip yang harus dibangun yakni menghormati diri dan menghormati orang lain, mendidik diri dan mendidik orang lain, serta melindungi diri dan melindungi orang lain.
"Jadi, di sini ada saling hubungan antara kita dengan orang lain. Untuk mencapai prinsip tersebut, ada sembilan elemen kewarganegaraan digital yang perlu dimiliki, di antaranya digital access, digital commerce, digital communication, digital literacy, digital law, digital right & responsibilities, digital health & wellness, digital securiy, dan digital etiquette," ungkap Kokom yang juga dosen PPKn UPI dalam keterangan resminya, Selasa (18/1/2022).
Dia menjelaskan, membangun warga negara digital yang baik harus dimulai dari budaya sekolah yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran PPKn.
“Guru harus menerapkan kerangka Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) dalam pembelajaran PPKn dengan strategi pembelajaran yang berfokus pada contextual teaching and learning and scientific learning, self regulated learning, value-based education, dan blended learning," katanya.
Ketua Prodi PPKn UMM, Moh Mansur Ibrahim, menegaskan perkembangan dunia digital yang sangat pesat membuat masyarakat harus bisa beradaptasi dengan cepat. Maka sangat penting untuk memahami aspek digital citizenship.
Menurut dia, dunia digital berkembang begitu cepat dan merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satunya dalam aspek ekonomi yang semakin ke sini semakin sedikit jumlah transaksi yang fisik. Semua bergeser ke uang digital.
"Selain itu, penggunaan sosial media menuntut kita untuk terlibat dan berhubungan dengan dunia digital," ungkapnya.
Etika Bermedia Sosial
Kepala Humas UMM, Sugeng Winarno, menambahkan dalam data digital civility index yang dirilis Microsoft, Februari tahun lalu, disebutkan bahwa netizen Indonesia paling tidak punya adab di internet. Oleh sebab itu, hal paling krusial adalah etika masyarakat dalam bermedia sosial.
"Urgensi dari etika bermedia sosial bahkan mendorong Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan panduan bagaimana warga Muhammadiyah menggunakan media sosial. Prinsipnya, warganet Muhammadiyah diharapkan menjadikan media sosial sebagai wahana silaturahmi, bermuamalah tukar informasi,dan berdakwah amar ma'ruf nahi munkar," ujarnya.
Dia juga membagikan tips bermedsos yang beradab, yaitu menggunakan nama asli, batasi informasi pribadi yang ada dan tidak sembarangan menerima undangan pertemanan.
Selain itu, tidak mudah percaya dengan teman, cek kebenaran informasi pemilik akun, tidak berkata kasar, tidak memposting foto pribadi, hingga menghindari 'nyampah' di timeline.
Dia menilai bahwa pemahaman akan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak kalah krusial dalam menciptakan warga digital yang beradab.
"Interaksi di media sosial tidak lepas dari Undang-undang ITE. Orang Indonesia banyak yang belum memahami hal itu sehingga mudah terjerat hukum. Jadi, melek hukum digital juga sangat penting," kata dosen Ilmu Komunikasi tersebut.
Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMM, Nurul Zuriah, menjelaskan konsep kewarganegaraan digital tidak bisa dipisahkan dari konsep pelajar Pancasila.
"Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ketika profil pelajar pancasila ini sudah tertanam, maka secara otomatis mereka akan menjadi a good digital citizenship," terangnya.
Pada praktiknya, pengguna media sosial diharapkan selalu memegang etika bermedia sosial yang baik dan benar dengan selalu memperhatikan konsep THINK. Artinya, sebelum berkomunikasi di dunia digital, pengguna harus mempertanyakan tentang true, hurtful, illegal, necessary, dan kind.
“Ada berbagai tantangan dalam penguatan profil pelajar Pancasila di era digital citizenship yang harus dicermati. Belum lagi permasalahan keamanan data, etika berkomunikasi, kenyamanan, ancaman atau bullying, hoax-hate speech, serta jaminan dan kepastian hukum. Itu adalah hal-hal yang harus kita pecahkan bersama," tandasnya.