Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, DEPOK – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengembangkan riset untuk meneliti dampak stigma penyakit tuberkulosis (TB) terhadap upaya penanganan penyakit mematikan itu.
Untuk mengkaji stigmatisasi TB dan upaya penanganannya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) membahas program Characterising and Addressing the Psychosocial Impact of Tuberculosis in Indonesia (CAPITA), yang diselenggarakan pada Februari–November 2022.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menuturkan, penelitian ini sangat penting karena TB merupakan kasus yang terus mengalami peningkatan. Maka dari itu, diperlukan adanya kolaborasi dalam riset berskala nasional dan internasional agar hasilnya dapat dipublikasikan dan menjadi policy brief bagi lembaga terkait dan pemerintah.
“UI telah melakukan kolaborasi dengan pihak luar, seperti Oxford, Leiden University, Maastricht University, dan Melbourne University, untuk membuka peluang kerja sama dengan institusi internasional lainnya. Ini dilakukan agar kualias pendidikan dan penelitian makin meningkat, sehingga bermanfaat bagi masyarakat di dalam dan luar negeri,” papar Ari dalam siaran pers yang diterima Eduwara.com, Rabu (16/2/2022).
Ketua Tim Peneliti Capita Ahmad Fuady menuturkan, hingga saat ini, belum ada peraturan yang mengeliminasi stigma terhadap pasien TB. Oleh karena itu, studi ini bertujuan memberikan bukti ilmiah untuk mendesain dan mengimplementasikan intervensi psikososial demi mereduksi stigma negatif TB.
Dikatakan Ahmad, Capita dilaksanakan di tujuh provinsi yakni di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Dua populasi utama pada penelitian ini meliputi populasi A yakni sebanyak 770 orang dewasa yang menjalani pengobatan TB dan populasi B yakni sebanyak 640 pekerja dewasa.
“Selanjutnya, dilakukan desk review terhadap peraturan terkait stigma dan diskriminasi TB dan wawancara mendalam. Hasil studi dan rekomendasi kebijakan kemudian diberikan kepada Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai masukan untuk pembuata kebijakan,” tutur Ahmad.
Tuberkulosis (TB) sendiri merupakan penyakit infeksi paling mematikan di dunia. Secara global, estimasi kasus TB lebih dari 9 juta kasus. Di tengah tantangan mencapai target eliminasi TB, upaya mencegah dan menangani TB dipersulit dengan adanya stigma terhadap TB di masyarakat.
Guru Besar Kedokteran Okupasi FKUI Muchtaruddin Mansyur mengatakan pasien TB distigmatisasi karena dikaitkan dengan hasil pekerjaan yang terbatas. Stigmatisasi juga memunculkan beban ganda bagi petugas kesehatan karena mereka harus mengatasi peningkatan morbiditas dan mortalitas diri sendiri sekaligus bertanggung jawab mengatasi TB sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya menghilangkan stigma dengan pendidikan kesehatan tentang TB, dilakukannya penelitian untuk tata laksana yang lebih baik, dukungan kebijakan dan layanan kesehatan di tempat kerja, serta praktik kedokteran okupasi yang sesuai.
Selain kolaborasi internasional, UI juga melakukan kolaborasi nasional dengan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PML) Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi, menuturkan, terdapat tiga arahan Presiden RI Joko Widodo terkait percepatan eliminasi TB, yakni pelacakan agresif untuk menemukan penderita TB, obat-obatan TB harus tersedia dan pengobatan dilakukan hingga tuntas, serta pencegahan harus dilakukan lintas sektor hingga dari sisi infrastruktur.
Selain itu, dilakukan upaya mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap pasien, melalui peran komunitas, mitra, dan multisektor. “Studi, kajian, dan riset TB dilakukan bersamaan dengan program penanggulangannya. Hasilnya diharapkan bermanfaat untuk penguatan implementasi, perencanaam dan evaluasi program,” papar Siti Nadia.
Penelitian TB juga dilakukan oleh Jejaring Riset Tuberkulosis Indonesia (Jetset TB Indonesia). Ketua Jetset TB Indonesia Rovina Ruslami mengungkapkan ada sepuluh prioritas penelitian TB di Indonesia.
Prioritas tersebut meliputi optimalisasi penemuan dini kasus TB, optimalisasi upaya diagnosis dan pengobatan TB resisten obat, evaluasi dan intensifikasi investigasi kontak, penguatan upaya penemuan kasus dan pengobatan TB anak, serta pengembangan pengobatan pencegahan TB.
Lebih lanjut dikatakan Rovina, kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga dibutuhkan dalam pengendalian TB, selain optimalisasi laboratorium penunjang diagnosis TB, peningkatan kepatuhan pasien berobat, pengembangan alat diagnosis TB, dan upaya pemberdayaan masyarakat juga termasuk di dalamnya.