logo

Gagasan

Akademisi Ingin Komitmen dan Strategi Atasi Krisis Iklim Indonesia Berbeda

22 Februari, 2023 21:49 WIB
Akademisi Ingin Komitmen dan Strategi Atasi Krisis Iklim Indonesia Berbeda
Dalam diskusi NCCC yang digelar UID pada Selasa (21/2/2023) di UID Bali Campus, Bali, para akademisi menginginkan komitmen dan strategi Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca berbeda dengan negara lain. (EDUWARA/DOK. UID)

Eduwara.com, JOGJA – Para akademisi menginginkan komitmen dan strategi pemerintah Indonesia dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca untuk mencegah perubahan iklim harus berbeda dengan negara-negara lain. Strategi mengoptimalkan kekayaan alam, kearifan lokal dan karbon lebih diterima serta berdampak menyejahterakan rakyat.

Hal ini menjadi benang merah dalam diskusi integrasi konsep sumber daya alam (natural capital), masyarakat (communities), dan karbon (carbon) atau NCCC yang digelar Yayasan Upaya Indonesia Damai (UID) pada Selasa (21/2/2023) di UID Bali Campus, Bali.

Melalui rilis yang diterima Eduwara.com, Rabu (22/2/2023), Chairman of Research Center for Climate Change  Universitas Indonesia (UI) Jatna Supriatna menekankan strategi Indonesia dalam mendorong keberlanjutan dan melindungi keanekaragaman hayati harus berbeda dengan negara-negara lain.

"Semua jargon-jargon seperti carbon credit, carbon trading, social capital, dan sebagainya harus lebih dibumikan dan dijabarkan secara lebih sederhana," jelas Jatna.

Hal ini dilakukan agar bisa menjangkau masyarakat seperti petani atau nelayan, dan bukan hanya di tingkat pembuat kebijakan saja. Menurutnya, yang paling bisa memulai perubahan positif adalah masyarakat lokal yang selalu berada di lapangan.

Tak hanya itu, dengan budaya di suatu daerah di Indonesia, seperti Bali dan Papua, kekentalan tradisi adat dan hubungannya dengan alam bisa sangat berbeda.

"Menurut saya, itu perlu diperhatikan ketika ingin mengadvokasikan prinsip seperti NCCC ke suatu daerah yang masih menganut erat adat tersebut," Jatna.

Deputi Direktur SDGs Center Universitas Padjadjaran, Ahmad Komarulzaman, berpendapat peran pemimpin sangat penting untuk mendorong sebuah konsep pembangunan. Momentum paska pandemi dapat dijadikan sebagai saat yang tepat untuk melakukan sosialisasi NCCC.

"Saat ini momentum post COVID sedang menahan pembangunan dalam waktu yang cukup lama dan semua orang punya kesempatan untuk berpikir ulang untuk konsep pembangunan. Hal lainnya, SDGs ini mau selesai dan sekarang sudah ada diskusi post 2030. Ketika pembicaraan SDGs ini selesai, NCCC bisa punya panggung sendiri," tuturnya.

Kompas Filosofis

Ketua Umum Yayasan UID Tantowi Yahya, menuturkan diskusi tentang NCCC bertujuan menjelaskan secara otoritatif konsep NCCC sebagai kompas filosofis dan panduan kebijakan yang dapat disepakati antara publik, swasta, dan pemerintah.

'Diskusi ini akan merumuskan White Paper NCCC yang mengompilasi data berbasis hasil survei lapangan, diskusi lintas sektor tingkat makro, dan konsolidasi nilai-nilai dari literatur negara sebagai metode untuk menelusuri dan memperkaya konteks dan perspektif rekomendasi-rekomendasi praktik lapangan yang berkelanjutan," kata Tantowi.

Dalam White Paper turut ditampilkan beberapa praktik di lapangan yang sudah menerapkan konsep NCCC di antaranya di Dufa-dufa, Ternate, Maluku Utara; Tawangargo, Malang, Jawa Timur; Pasir dan Sekubang, Mempawah, Kalimantan Barat; dan Nipah Panjang dan Medan Mas, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Strategy, Learning and Knowledge Curator of Dala Institute sekaligus penyusun NCCC White Paper, Cininta Pertiwi mengatakan tujuan dari White Paper ini adalah sebagai panduan untuk semua pelaku kepentingan terkait dari publik, swasta, dan pemerintah dalam memperkuat hubungan antara unsur alam dan manusia.

"Kedua aspek tersebut perlu berjalan dengan dengan seimbang demi mencapai target pembangunan berkelanjutan serta menyediakan sebuah kerangka kerja dalam memandu proses pengelolaan sumber daya alam, serta upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," ujarnya. 

Read Next