logo

Kampus

Akademisi Nilai Wacana Penundaan Pemilu Tidak Punya Dasar Konstitusi

Akademisi Nilai Wacana Penundaan Pemilu Tidak Punya Dasar Konstitusi
Akademisi Nilai Wacana Penundaan Pemilu Tidak Punya Dasar Konstitusi (Eduwara/Setyono)
Setyono, Kampus18 Maret, 2022 09:23 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Dua pengajar dari kampus berbeda sepakat penundaan Pemilu 2024 tidak memiliki dasar konstitusi dan berefek besar pada ekonomi serta politik. Para pengusul penundaan Pemilu dinilai tidak siap berkompetisi.

Benang merah ini muncul webinar Pro-Kontra Penundaan Pemilu, Siapa Diuntungkan? yang dilaksanakan bersama oleh Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Metro Lampung, Kamis (17/3/2022) sore.

Dalam paparannya, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) UWM AS Martadani Noor menyatakan dilihat dari alasan ekonomi yang sedang tidak baik akibat pandemi Covid-19, penundaan Pemilu sangat tidak relevan.

"Selain kondisi ekonomi nasional yang terus membaik, penundaan pemilu tidak ada relevansi dengan keberlanjutan pemulihan ekonomi  pembangunan. Menunda Pemilu bukan menstabilisasi perekonomian, melainkan stabilitas politik atau kontraksi politik," jelasnya.

Dengan demikian, tambahnya, ketika kontraksi politik terjadi, kekuasaan status quo belum tentu menjamin kelangsungan ekonomi atau sebaliknya ekonomi memburuk sebagai akibat kontraksi politik.

Martadani menerangkan penundaan pesta demokrasi menunjukkan penggagas dan pendukung nya tidak memiliki harapan dan kesiapan berkompetisi politik yang baik dan sehat,baik pemilihan legislatif maupun eksekutif atau presiden.

"Saya melihat mengapa ada gagasan menunda pemilu, itu ada ambiguitas kekuatan oligarki dalam lingkaran kekuasaan dan kekuatan ekonomi yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kekuasan saat ini," lanjutnya.

Baginya, perilaku semacam itu tidak baik bagi pendewasaan demokrasi dan tidak mencerminkan level ketaatan konstitusi rendah. Bisa dikatakan sebagai elit politik dan pendukungnya sebagai petualang dan bandit politik.

Indonesia dalam rezim siapapun yang memimpin harus menghindari kontraksi politik yang didasari alasan tidak konstitusional, sebaliknya budaya memelihara keberlanjutan dan kultur politik demokrasi harus diutamakan.

"Itu bagian dari sistem konsolidasi sosial, ekonomi, politik, dalam koridor konstitusi sekaligus menjalankan kedaulatan rakyat," ujar Martadani.

Sementara itu, Pakar Hukum UM Metro Lampung Betha Rahmasari menilai pelaksanaan Pileg pada 14 Februari 2024 oleh KPU adalah pilihan tanggal yang dikaitkan dengan semangat anak muda (Valentine). Ini menunjukkan pertimbangan sangat matang dalam memilih waktu pesta demokrasi.

"Lalu, apa yang mendasari jadwal pemilu harus ditunda? Apakah ada keadaan darurat? Kalau Indonesia diserang negara tetangga, maknanya negara ini dalam kondisi darurat perang, itu menjadi force majeure untuk menunda pemilu. Kalau tidak ada alasan kuat itu, pemilu tidak bisa ditunda," tegasnya.

Dia memastikan wacana itu akan sulit direalisasikan jika melihat aturan konstitusi atau UUD 1945. Pasalnya, tidak ada satu tafsir manapun dalam UUD 1945 yang mengakomodasi wacana tersebut apalagi perpanjangan masa jabatan presiden. 

Para penggagas penundaan Pemilu kemungkinan menerapkan tiga strategi, yaitu amandemen konstitusi, dekrit presiden, dan revolusi hukum atau menciptakan konstruksi ketatanegaraan baru. "Tiga jalan tersebut menimbulkan risiko politik, hukum, ekonomi,dan paling parah resiko konflik," paparnya.

Read Next