logo

Sekolah Kita

Belajar Jadi Beban, Banyak Lulusan Madrasah Aliyah tak Lanjut ke Perguruan Tinggi

Belajar Jadi Beban, Banyak Lulusan Madrasah Aliyah tak Lanjut ke Perguruan Tinggi
Ketua KKMA DIY, Edi Triyanto menyebut lulusan MA minim yang melanjutkan pendidikan tinggi karena belajar dianggap menjadi beban. Hal disampaikan saat sosialisasi SPAN-UM PTKIN UIN) Sunan Kalijaga, Senin (8/5/2023). (EDUWARA/K. Setyono)
Setyono, Sekolah Kita08 Mei, 2023 19:47 WIB

Eduwara.com, JOGJA - Ketua Kelompok Kerja Madrasah Aliyah (KKMA) Daerah Istimewa Yogyakarta, Edi Triyanto menyebut minimnya lulusan Madrasah Aliyah melanjutkan pendidikan tinggi karena menilai proses belajar adalah beban. Ini menandakan konsep Merdeka Belajar belum optimal diterapkan.

Hal ini diungkapkan Edi saat memberi materi dalam sosialisasi Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi (SPAN) Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (8/5/2023).

"Dibandingkan MA di wilayah perkotaan, lulusan MA di daerah pinggiran minim yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi," jelasnya.

Edi mengatakan rata-rata lulusan MA dari daerah pinggiran yang melanjutkan ke perguruan tinggi berkisar di angka 50-60 persen. Berbeda dengan MA perkotaan yang mencapai 80-90 persen lulusannya yang melanjutkan kuliah.

Edi menyebut ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Salah satunya adalah adanya pilihan dari orang tua kepada anaknya yaitu apakah melanjutkan kuliah atau membeli motor baru.

"Atas pilihan ini, otomatis anak akan memilih sepeda motor baru dibandingkan melanjutkan kuliah. Tak hanya itu, persoalan biaya juga menjadi faktor penting tidak melanjutkan kuliah," sebutnya.

Salah satu alasan lain dan paling kuat dari para lulusan MA pinggiran tidak ingin melanjutkan kuliah adalah rendahnya motivasi mereka untuk melanjutkan atau meneruskan proses belajar.

Musuh Besar

Rendahnya minat melanjutkan pembelajaran ke perguruan tinggi, menurut Edi, karena para siswa melihat proses belajar adalah beban. Sehingga setelah lulus dari sekolah menengah, mereka enggan untuk memikirkan materi pembelajaran lagi. 

"Ini artinya konsep Merdeka Belajar belum optimal diterapkan guru. Pelajaran di sekolah dianggap beban dan mereka tidak mau belajar lagi," ujarnya.

Rendahnya minat belajar inilah, yang menurut Edi, menjadi musuh besar. Di sinilah peran guru Bimbingan Konseling (BK) untuk terus memotivasi para siswa agar merasa senang belajar. Hal ini juga harus segera dikondisikan. Pasalnya, tarikan dari lingkungan luar sekolah seperti gaya hidup sangatlah kuat.

Dari sisi biaya, Edi menyebut sebenarnya hal itu bisa dicarikan jalan keluarnya dengan mengejar berbagai program beasiswa yang banyak disiapkan pemerintah maupun lembaga-lembaga.

"Terlebih lagi, di beberapa perguruan tinggi seperti UIN Sunan Kalijaga, bagi mahasiswa yang berasal dari ekonomi rendah mendapatkan keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT)," jelasnya.

Ketua Admisi Aulia Faqih Rifa'I mengatakan pada tahun 2023 melalui jalur UM-PTKIN, UIN Sunan Kalijaga menyediakan kuota lebih besar, yakni 1.364 kuota untuk 24 prodi keagamaan.

Sementara materi ujian UM-PTKIN 2023 tidak ada lagi kelompok ujian Saintek (sains dan teknologi) maupun Soshum (sosial dan humaniora). Namun, peserta akan diberikan materi ujian yang terdiri dari potensi kognitif, literasi matematika, literasi membaca, dan literasi ke-Islaman.

"Secara singkat kami memiliki dua jalur nasional dan jalur mandiri, jalur nasional ada rapor dan tes, mandiri ada prestasi, keberagamaan, portofolio, CBT. Tipsnya ada dua strategi, pertama sesuaikan pintu masuk strategi dan strategi kedua, masuk dari semua pintu," papar Aulia.

Read Next