logo

Sekolah Kita

Di Pedalaman Sumatera, Alumni UNY Ini Menggagas Program Zero Literasi

Di Pedalaman Sumatera, Alumni UNY Ini Menggagas Program Zero Literasi
Anak-anak di SD Embacang Lama Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, setiap hari menempuh perjalanan pp ke sekolah dengan berjalan kaki, menyeberangi sungai. (EDUWARA/Dok. Pribadi)
Setyono, Sekolah Kita04 Juli, 2022 22:55 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Sebagai pengajar di daerah pedalaman, alumni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Koko Triantoro mencoba menginisiasi program Buta Aksara/Membaca bertajuk ‘’. 

Koko yang merupakan alumni Prodi Pendidikan IPA Fakultas Matematika dan IPA (MIPA), telah mengajar di SD Embacang Lama Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan sejak 2017. Baginya, kesulitan mengajar di pedalaman adalah masifnya penggunaan bahasa daerah di kelas.

Koko juga memiliki pengalaman mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) yaitu di Agro School Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Pengalaman itu membuatnya sadar ada kesenjangan yang luar biasa dalam pendidikan.

"Kesenjangan yang sangat tinggi utamanya bidang pendidikan yaitu bahasa, membaca dan berhitung," kata Koko dalam rilis Senin (4/7/2022).

Di SD Embacang Lama, yang hanya berisi 20 siswa dan diampu sembilan guru, Koko menceritakan dirinya menghadapi kesulitan karena kendala bahasa di mana siswa terbiasa bahasa daerah hingga kesulitan memahami pelajaran.

"Saat ini kami sedang menggarap program nol buta aksara/membaca dengan metode calistunggrade," kata Koko.

Metodenya, dari kelas 1-6 itu akan diklasifikasikan siswa dengan grade A-D kategori kemampuan membaca. Setelah didapat data dari wali kelas, siswa akan dikelompokan dalam grade tersebut sesuai kemampuannya.

Grade terendah D dan tertinggi A. Waktu kegiatan diambil seminggu dua kali 30 menit menjelang waktu pulang. Hasilnya akan dievaluasi tiap dua minggu sekali. Buku panduannya disusun buku latihan baca, sehingga diharapkan satu semester grafik kemampuan siswa membaca meningkat.

"Karena grade hanya empat, maka dua kelas grade bisa dipegang dua tiga guru sehingga siswa lebih intens dalam pendampingan membaca," terangnya.

Koko mengaku harus berjalan kaki pulang-pergi 90 menit ke sekolah melewati hutan. Padahal jika ditempuh menggunakan perahu hanya 15 menit. 

“Kami berharap ada bantuan perahu yang akan memangkas waktu tempuh guru dan murid," jelasnya.

Koko adalah peserta Program Guru Garis Depan (GGD). Program ini dimulai pada 2015 dengan mengirimkan 798 guru ke 28 kabupaten di daerah 3T yang tersebar di empat provinsi. Ke-798 guru tersebut terpilih melalui seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi PNS untuk para lulusan Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T).

Read Next