logo

Gagasan

Harga BBM Naik, Ini Tanggapan Dosen FEB UNS Solo

09 September, 2022 01:48 WIB
Harga BBM Naik, Ini Tanggapan Dosen FEB UNS Solo
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Solo, Lukman Hakim. (EDUWARA/Humas UNS)

Eduwara.com, SOLO — Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi hingga non subsidi yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada Sabtu (3/9/2022), menetapkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite naik dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. 

Harga Solar subsidi naik dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter dan harga Pertamax naik dari Rp12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter. Namun demikian, kenaikan harga BBM jenis non subsidi tersebut berbeda di setiap wilayah masing-masing.

Merespon hal itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Lukman Hakim dalam Webinar Meninjau Kenaikan Harga BBM dan Efektifitas Cash Transfer: Kebijakan Serampangan Rezim Jokowi? pada Selasa (6/9/2022) mengatakan bahwa kenaikan harga BBM merupakan sesuatu hal yang tak bisa dihindari.

Namun dia menilai keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Terlebih, pemerintah tidak memiliki kebijakan publik yang tertata dan terkesan terburu-buru dalam menaikkan harga BBM ini.

“Kenaikannya jangan terlalu tinggi. Seharusnya harga tidak langsung dinaikkan sebanyak itu, melainkan bertahap. Atau, ada angka tengah agar masyarakat yang terdampak tidak keberatan dengan kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga komoditas lain,” ujar Lukman Hakim seperti dilansir Eduwara.com, Kamis (8/9/2022) dari laman UNS Solo.

Lukman Hakim menambahkan, sudah seharusnya pemerintah lebih kreatif dalam membuat kebijakan publik, yaitu menyusun kebijakan tanpa membuat masyarakat menjadi terbebani.

Dia pun turut mencontohkan saat pemerintah mengeluarkan kebijakan peralihan dari Premium ke Pertalite secara bertahap. Karena pada saat itu, pemerintah juga mengedukasi masyarakat untuk beralih dari BBM nilai oktan Research Octane Number (RON) 88 atau Premium ke BBM RON 90 atau Pertalite untuk mengurangi masalah polusi. Dampaknya secara perlahan masyarakat dengan sukarela memilih untuk menggunakan Pertalite yang selisih harganya tidak terlalu banyak.

Dengan demikian, pemerintah harus memiliki kebijakan publik yang lebih tertata sebelum memutuskan menaikkan harga BBM tersebut. Atau bisa mengeluarkan kebijakan seperti halnya saat peralihan dari Premium ke Pertalite, kenaikan tidak tinggi namun dibuat secara bertahap.

“Pemerintah harus lebih kreatif dalam membuat kebijakan publik. Juga membuat kebijakan publik yang sifatnya terintegratif dengan kebijakan yang sudah ada. Jangan sampai kebijakan publik yang sudah dikeluarkan justru membebani masyarakat,” tutup Lukman. (K. Setia Widodo/*)

Read Next