Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA— Kebijakan soal pemanfaatan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi tenaga kerja yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun dinilai tidak berbasis bukti dan data yang kuat.
Hal itu diungkapkan Pakar Kebijkan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Heruanto Hadna.
"Pencairan JHT pada usia 56 tahun di BPJS Ketenagakerjaan telah menyisakan persoalan dan kritik karena disusun tidak berdasarkan evidence based dan tidak sensitif terhadap publik khususnya pekerja di sektor swasta," ungkapnya pada Rabu (2/3/2022).
Menurutnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 02 Tahun 2022 dibuat seolah disamakan dengan usia pensiun PNS. Padahal, persoalan yang dihadapi dari para pekerja di sektor swasta berbeda dengan PNS.
Ditambah dengan situasi lapangan kerja saat ini sangat labil dan penuh ketidakpastian. Banyak pekerja di sektor swasta mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum masa pensiun dalam usia yang beragam.
"Kebijakan pemanfaatan JHT belum mampu menjawab permasalahan tersebut. Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam," tuturnya.
Hadna mencontohkan ketika pekerja terkena PHK di usia 45 tahun, pekerja harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa mencairkan JHT. Kondisi pekerja sektor swasta dimanapun itu tidak pasti sehingga penentuan batas usia ini sangat sulit bagi mereka.
Hadna menjelaskan dalam kebijakan publik merupakan suatu hal lumrah apabila terdapat perubahan kebijakan. Kendati begitu, perubahan kebijakan menjadi sesuatu hal yang aneh ketika baru diterapkan lalu diganti lagi dalam waktu dekat.
"Jadi, aneh ketika baru diterapkan seminggu lalu diganti. Ini bukan hal yang baru di negara kita," katanya.
Namun pada pengambil keputusan, kebijakan JHT merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitive karena di dalamnya banyak pihak kepentingan, banyak aktor yang terlibat, dan sangat kompleks.
"Ada satu resources yang seharusnya dimiliki karyawan dan pekerja tapi ibaratnya itu ditahan hingga usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini masuk kebijakan yang redistributif dan sangat sensitif, serta berisiko tinggi jika diimplementasikan," paparnya.