logo

Gagasan

Komitmen Hapus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Perlu Gotong Royong Seluruh Pihak

19 Januari, 2023 20:32 WIB
Komitmen Hapus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Perlu Gotong Royong Seluruh Pihak
Tampilan halaman Merdeka dari Kekerasan Kemendikbudristek. (EDUWARA/Kemendikbudristek)

Eduwara.com, JAKARTA – Laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Rapat Kerja Bersama Komisi III DPR RI menyebut bahwa permohonan perlindungan kasus kekerasan terhadap anak meningkat sebesar 25,82 persen. Tahun 2021, terdapat temuan 426 kasus dan meningkat pada tahun 2022 menjadi 536 kasus.

Pada tahun 2020, terdapat 88 persen kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Berdasarkan laporan yang diadukan ke Komnas Perempuan tahun 2015 hingga 2020, 27 persen kasus kekerasan seksual terjadi pada jenjang perguruan tinggi.

Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dibarengi dengan mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, kasus tindakan kekerasan, termasuk kekerasan seksual masih kerap terjadi di satuan pendidikan.

Menyikapi kenyataan tersebut, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Rusprita Putri Utami menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen kuat untuk menghapuskan kekerasan seksual tersebut.

“Hal ini penting mengingat dampak negatif kekerasan seksual dapat bersifat jangka panjang dan memengaruhi proses belajar serta aktualisasi diri dari peserta didik,” kata Rusprita Putri Utami seperti dilansir Eduwara.com, Rabu (19/1/2023), dari laman Kemendikbudristek.

Kemendikbudristek, sambung dia, telah mengambil langkah strategis dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual khususnya di lingkungan perguruan tinggi dengan menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Dari pemantauan yang dilakukan pihaknya, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi.

"Terbukti, setelah diterbitkannya Permendikbudristek ini, para korban kekerasan seksual berani berbicara dan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, dan beberapa pelaku yang terbukti bersalah telah mendapatkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan,” jelas dia.

Modul Pembelajaran PPKS

Puspeka juga telah mengembangkan modul pembelajaran Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sebagai upaya peningkatan kapasitas mengenai kekerasan seksual, khususnya di lingkungan perguruan tinggi.

Modul tersebut dapat diakses melalui Learning Management System (LMS) perguruan tinggi oleh mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Apabila perguruan tinggi belum memiliki LMS, modul tersebut dapat diakses melalui Sistem Pembelajaran Daring Indonesia (SPADA) Indonesia.

Rusprita menekankan bahwa upaya memerangi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak bisa hanya dilakukan oleh Kemendikbudristek saja, melainkan perlu melibatkan para pemangku kepentingan terkait di lapangan.

“Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling berdampak bagi korban tetapi paling sulit dibuktikan, sehingga tidak dapat dipandang sebelah mata. Kekerasan seksual menjadi salah satu fokus komitmen Kemendikbudristek dan tentu ini menjadi pekerjaan besar kita bersama,” kata Rusprita.

Dia pun mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi memerangi kekerasan seksual sebagaimana kampanye #GerakBersama #HapuskanKekerasanSeksual. Tujuannya menciptakan ruang yang aman bagi seluruh warga di lingkungan satuan pendidikan. Salah satunya adalah dengan menciptakan ekosistem pendidikan yang merdeka dari kekerasan dalam bentuk apapun.

Menurut dia, perjuangan menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang aman dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, membutuhkan gotong-royong semua pihak.

"Pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan, pemimpin satuan pendidikan, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, masyarakat umum, serta kementerian/lembaga terkait, semua memiliki peran dan tanggung jawab untuk penghapusan kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan,” pungkas dia. (K. Setia Widodo/*)

Read Next