Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SOLO - 20-an orang berkumpul ditemani camilan dan teh hangat. Jalanan yang basah dan dinginnya udara malam setelah hujan tidak mengendurkan semangat mereka mendengarkan kisah hidup salah seorang maestro tari Kota Solo, Wahyu Santoso Prabowo.
Dengan takdim, mereka menyimak perkataan yang sesekali berubah menjadi petuah.
"Menggeluti kesenian Jawa memang diperlukan proses yang sangat panjang. Harus ditekuni dan dilakukan secara serius," ucap sang maestro tari itu dalam Pengajian Artistik Sukra Manis #8: Menyelami Diri, Membuka Pintu Energi, Jumat (11/3/2022) malam.
Dalam acara rutin yang diselenggarakan Sanggar Pasinaon Pelangi, Mojosongo, Solo itu, Wahyu Santosa menceritakan ketertarikan dia dengan kesenian Jawa.
Sejak usia delapan tahun, Wahyu Santoso sudah menyenangi kesenian Jawa, khususnya seni tari gaya Solo. Hal itu dipengaruhi dari keluarga dia yang juga memiliki ketertarikan terhadap kesenian Jawa, bahkan memiliki gamelan.
"Kebetulan orang tua suka nembang. Ketika mau tidur, saya selalu ditembangi bapak dengan tembang kesukaannya yakni Dhandhanggula dan Tlutur. Kemudian ibu lebih ke tembang tentang ajaran-ajaran kepada anak untuk selalu belajar dan mencari ilmu. Dari situ mulai menyenangi karawitan, lalu belajar tari," beber dia.
Setelah lulus SMP, Wahyu Santoso melanjutkan pendidikan di Konservatori Solo. Setelah lulus Konservatori, dia melanjutkan ke Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Di situ dia secara aktif menemui empu-empu kesenian Jawa terutama seni tari.
Menurut dia, jika berbicara kesenian berarti berbicara tentang seniman. Berbicara tentang seniman berarti berbicara tentang manusia, yakni manusia yang terpilih dan manusia unggulan.
"Merujuk ke pendapat Desmond Morris, manusia sejak lahir secara kodrati sudah diberi kemampuan. Kemampuan untuk mengetahui, membeda-bedakan, dan mencermati apa yg ada di sekitar kehidupan manusia," ujar dia.
Menurut dia, ketika manusia sudah memiliki kemampuan itu, maka manusia sudah memiliki pijakan atas munculnya keperadaban manusia. Juga memungkinkan manusia bersikap kritis, menganalisis, dan kreatif, sehingga tidak ada alasan manusia tidak bisa berkarya seni.
Proses Pranataya
Dalam kesempatan itu, Wahyu Santosa mengatakan penggunaan istilah tari dalam kesenjan Jawa selain beksa dan joget yakni taya, yang berarti kosong atau suwung.
"Taya bisa merujuk kepada kapitayan berarti keyakinan, maksudnya bahwa jagat raya dan seisinya ada yang menciptakan," jelas dia.
Dalam proses tari, ada upaya mencapai perjalanan spiritual yang tujuannya untuk mencapai kekosongan itu. Hal itu sejalan dengan istilah manunggaling kawula Gusti.
"Dengan tari, ada upaya menyatukan diri dengan Tuhan untuk mencapai kekosongan itu. Manusia mengalami proses yang disebut Pranataya, yang berhubungan erat dengan proses pencapaian ketubuhan," beber Wahyu Santosa.
Pranataya, sambung dia, merupakan ziarah ragawi. Prana ialah energi murni yang dimiliki setiap manusia. Menurut anatomi Solar Plexus, letak prana yakni di bawah pusar.
Lebih lanjut, melalui proses Pranataya, manusia bisa membangkitkan energi murni yang kemudian disalurkan ke seluruh tubuh melalui proses pernafasan diafragma. Hal itu tidak hanya untuk tari, tapi juga vokal dalam teater.
"Ketika seorang penari ingin melatih ketubuhan melalui pernafasan diagragma, caranya dengan melakukan gerak yang sangat lambat. Namun saat bergerak benar-benar dicermati dan disadari," jelas dia.
Proses latihan terus dilakukan, baik saat berjalan, berlari, duduk, maupun aktivitas lain. Sehingga tubuh bisa berinteraksi dengan alam, manusia, ruang, dan sampai pada tahap urip mawa urub lan urip kang nguripi liyan. (K. Setia Widodo)