logo

Kampus

Penggunaan Bahasa Campuran Indoglish, Upaya Mempertunjukkan Kelas

Penggunaan Bahasa Campuran Indoglish, Upaya Mempertunjukkan Kelas
Mahasiswa Filsafat dan Sastra Indonesia FIB UGM yang meneliti maraknya penggunaan bahasa campuran Indonesia-Inggris (Indoglish) di kalangan mahasiswa. Penggunaan Indoglish dinilai sebagai upaya mempertunjukkan kelas penggunannya (UGM)
Setyono, Kampus06 September, 2022 15:41 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Penggunaan bahasa campuran (code-mixing), Indonesia – Inggris, dinilai sebagai upaya mempertunjukkan kelas sosial bagi penggunanya dan bisa menjadi bentuk kekerasan simbolik.

Kesimpulan ini terpapar dari penelitian mengenai penggunaan bahasa campuran yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Selama empat bulan penelitian fenomena penggunaan bahasa campuran, mereka kemudian membukukannya dalam laporan berjudul 'Kekerasan Simbolik pada Penggunaan Bahasa Campuran dan Implikasinya pada Identitas Budaya'.

Penelitian ini dilakukan Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM Riset Sosial Humaniora yang berisikan enam mahasiswa yaitu Doni Andika Pradana, Wahida Okta Khoirunnisa, Danu Saifulloh Rahmadani Della Ayu Banon Rekno Habsari semuanya dari Fakultas Filsafat dan didukung Zania Mashuro dari Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya.

"Bahasa campuran adalah bentuk gaya bahasa yang muncul di masyarakat bahasa bilingual ataupun multilingual. Penggunaan bahasa ini marak digunakan dan mendominasi dalam percakapan generasi muda, khususnya mahasiswa Yogyakarta," papar Doni Andika Perkasa, Selasa (6/9/2022).

Bahasa campuran Indonesia-Inggris atau dikenal dengan sebutan bahasa Indoglish atau bahasa Jaksel.

Doni menjelaskan perspektif indisipliner, yaitu Filsafat dan Sastra Indonesia. Penelitian berupaya menyelidiki fenomena penggunaan gaya bahasa campuran tersebut secara radikal melalui perspektif filsafat postmodernisme apakah mengindikasikan adanya dominasi budaya tertentu dalam hal ini adanya kekerasan simbolik dan faktor penyebab maraknya fenomena ini.

Wahida Okta Khoirunnisa menjelaskan maraknya penggunaan bahasa Indoglish oleh mahasiswa dipengaruhi beberapa hal seperti bahasa ini dinilai lebih komunikatif, terlihat keren, prestisius dan memiliki daya pengaruh yang lebih dalam mengarahkan pemahaman lawan bicara.

"Rata-rata pengguna bahasa campuran ini berasal dari kalangan tertentu seperti mahasiswa dari dari kota-kota besar, berstatus ekonomi tinggi dan memiliki akses yang lebih pada dalam pendidikan," jelas Okta.

Bahkan para pengguna gaya bahasa campuran ini memiliki kelompok atau komunitas tertentu yang tentunya berasal dari latar belakang yang sama.

Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa campuran Indonesia-Inggris dalam arti dan situasi tertentu mampu menginklusi seseorang pada kelompok tertentu dan membedakan seseorang dari kelompok lain.

Anggota tim lainnya, Banon Rekno Habsari menerangkan munculnya situasi dan kondisi yang berbeda sebenarnya telah menunjukkan kuasa struktur bahasa telah bekerja dan tumbuh dalam diri pengguna serta merepresentasikan kuasa bahasa mana yang melekat dalam diri, khususnya kelas sosial.

"Hal inilah yang kemudian dipahami sebagai kekerasan simbolik," paparnya.

Karenanya sebagai pencegahan meluasnya penggunaan bahasa Indoglish dan berdampak pada dominasi budaya, Tim ini kemudian merumuskan agar pengajaran Bahasa Indonesia yang telah disesuaikan dengan struktur Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) di pendidikan perlu digencarkan.

"Akademisi perlu melakukan kajian yang lebih komprehensif mengenai bahasa dan identitas budaya. Ini sebagai upaya menumbuhkan kebiasaan membiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di masyarakat," tutup Zania Mashuro.

Read Next