logo

Sekolah Kita

Peningkatan Persentase Jalur Prestasi di PPDB Meredakan Konflik di Kelas Menengah

Peningkatan Persentase Jalur Prestasi di PPDB Meredakan Konflik di Kelas Menengah
Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman RI DIY Budhi Masthuri (EDUWARA/K. Setyono)
Setyono, Sekolah Kita11 Mei, 2023 20:56 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Hasil penelitian Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Budhi Masthuri, menyebutkan bahwa kenaikan presentase kuota lewat Jalur Prestasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ternyata mampu meredakan konflik.

Sedangkan konsep PPDB Sistem Zonasi dinilai masih meninggalkan berbagai persoalan di daerah dan diperlukan inovasi kebaruan berkelanjutan dari para adopter, yakni Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora).

Kajian terkait PPDB di Yogyakarta dalam kurun waktu 2017-2019 dilakukan Budi Masthuri sebagai bagian dari tugas akhir di Program Studi Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana UGM 2023.

"Penelitian ini adalah bentuk simpati terhadap beratnya beban saudara-saudara kita yang hidup pas-pasan, bahkan kekurangan, namun belum terjangkau tangan baik negara. Mereka yang tinggal dalam rumah-rumah petak di sekitar sekolah-sekolah bagus, yang anak-anaknya tidak selalu bisa sekolah di dalamnya," kata Budi Masthuri, Kamis (11/5/203).

Tak hanya itu, Budi mengatakan PPDB Sistem Zonasi sebagai instrumen yang diharapkan mampu menghadirkan keadilan dan pemerataan akses pendidikan, masih harus bergulat dengan intepretasi atas nilai keadilannya sendiri. 

Menurutnya, inovasi PPDB Sistem Zonasi yang mengusung nilai publik keadilan akses, pada awal pelaksanaannya justru mendapatkan protes, penolakan bahkan konflik di beberapa daerah.

Pada paparannya, Budi mengatakan penetapan zonasi dengan pendekatan populasi sebagai bentuk re-invensi atau penemuan pendekatan baru, memang membatasi calon peserta didik memilih sekolah untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada calon peserta didik, dan pemerataan distribusi peserta didik ke dalam sekolah negeri yang ada.

"Namun oleh orang tua, re-invensi ini justru dipahami sebagai bentuk pembatasan yang semakin mempersempit peluang anak-anak mereka memperoleh sekolah favorit yang menjadi preferensinya," ungkapnya.

Favoritisme Sekolah

Favoritisme sekolah masih menjadi motivasi dominan yang melatarbelakangi protes dan penolakan, sama seperti ketika mereka menuntut penambahan besaran kuota jalur prestasi.

Kalangan orang tua meyakini kuota 5 persen jalur prestasi yang disediakan dalam Permendikbud terlalu kecil dan tidak berkeadilan akses. Untuk memenuhi private value tentang keadilan akses tersebut, para orang tua mengusulkan penambahan menjadi 20 persen agar memberikan rasa keadilan.

Sekolah bahkan membayangkan keadilan akses bagi calon peserta didik berprestasi akan terpenuhi jika besaran kuota jalur prestasi menjadi 50 persen dari daya tampung. 

"Meskipun demikian, sejauh ini, sekali lagi, masih belum terdapat penjelasan yang mendasari angka-angka prosentase yang diusulkan tersebut, baik 20 persen maupun 50 persen dari mana asal muasal perhitungannya, data apa yang menjadi rujukan, dan seperti apa dukungan teoritiknya?" tanyanya.

Keinginan para orang tua dari kalangan menengah ke atas ini kemudian direspon Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) dengan mengakomodir tuntutan kenaikan jumlah kuota jalur prestasi menjadi maksimum 15 persen.

Budi menegaskan adaptasi inovasi yang dilakukan pada  2019, baik oleh Kemendikbudristek maupun Disdikpora DIY merupakan bentuk adaptasi inovasi yang tidak sempurna. Hal ini karena tidak diawali dengan penemuan kembali gagasan baru menjadi re-invensi, melainkan menggunakan yang sudah ada sebelumnya.

“Perubahan angka besaran kuota jalur prestasi dari 5 persen menjadi sebanyak-banyaknya 15 persen tersebut lebih merupakan hasil dari transaksi politik yang dilakukan melalui negosiasi elit kelompok kepentingan mewakili kalangan menengah atas," jelasnya.

Melalui hasil penelitian ini, Budi menyarankan agar ketika pemerintah  pusat membuat  inovasi kebijakan nasional, terutama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, atau lembaga vertikal di daerah, perlu disediakan klausul yang memberikan ruang kepada implementor untuk melakukan re-invensi.

Klausul ini, saran Budi, juga harus dirumuskan secara jelas, tidak kontradiktif dengan pengaturan yang sudah ada, dan memberikan kewenangan penuh.

Read Next