Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA – Pengamat Pendidikan yang juga Anggota Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema menyayangkan hilangnya penyebutan kata Madrasah dalam draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Diungkap Doni, nomenklatur madrasah serta sekolah berbasis agama lainnya di dalam draft RUU yang diterima memang tidak ada.
“Sebenarnya bukan hanya madrasah, nomenklatur SMA Katolik juga tidak ada. Mungkin karena pendidikan keagamaan ini dianggap akan diurus oleh Kementerian Agama. Padahal sekolah madrasah dan SMA Katolik juga gabungan dua kementerian [Kemendikbudristek dan Kementerian Agama],” ujar Doni kepada Eduwara.com melalui sambungan telepon, Senin (28/3/2022).
Diungkap Doni, dalam UU Sisdiknas Tahun 2003, nomenklatur pendidikan keagamaan disebut secara lengkap.
Diketahui dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan dalam Pasal 17 dan Pasal 18.
Pasal 17 ayat 2 berbunyi “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”.
Adapun, dalam pasal 18 ayat 3 berbunyi “Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.
Sementara itu, dalam draft RUU Sisdiknas yang Eduwara.com terima, dalam Pasal 32 disebutkan “Pendidikan keagamaan merupakan Pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama”.
Lebih lanjut dikatakan Doni, pengaturan detil tentang madrasah memang bisa dilakukan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) namun, nantinya PP ini tidak mempunyai landasan di atasnya. Pasalnya, dalam Undang-undang saja tidak disebutkan.
“Harus diingat juga bahwa selama ini Madrasah kewenangannya terbelah antara Kemendikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag). Kurikulum non-agama nya ikut Kemendikbudristek, keagamaannya ikut Kemenag. Belum lagi para gurunya, guru keagamaan ikut Kemenag dan guru non-pelajaran agama ikut Kemendikbudristek. Persoalan dualisme tata kelola ini harusnya juga diatur dan dibereskan dalam RUU Sisdiknas ini,” tutur Doni.
Sementara itu, Doni juga mengkritisi ketertutupan Kemendikbudristek dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas.
“Draft yang beredar saat ini memang dari Kemendikbudristek namun draft ini tidak dicantumkan resmi di situs mereka sehingga publik bisa mengetahui dan mengakses bersama untuk dapat memantau sejauh mana proses penyusunan RUU ini berlangsung dan juga bisa mempelajari serta memberi masukan. Ini tidak, coba saja di situs mereka tidak ada. Penyusunan RUU itu tidak boleh ditutupi. Harus terbuka. Ini demi masa depan generasi penerus bangsa,” papar Doni.