logo

Sekolah Kita

Saat Pilkada, Banyak Guru ‘Terjebak’ Politik Lokal

Saat Pilkada, Banyak Guru ‘Terjebak’ Politik Lokal
Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman pada Bincang Pendidikan bertajuk Catatan Pendidikan Nasional: Dari Politisasi, Desentralisasi, Hingga Problem pada Masa Pandemi di Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A Malik Fadjar Kota Malang, Rabu (26/1/2022). (EDUWARA/Istimewa)
Fathul Muin, Sekolah Kita03 Februari, 2022 00:36 WIB

Eduwara.com, MALANG — Dampak buruk dari praktik desentralisasi pendidikan dapat memberi jalan bagi kuasa politik lokal memanfaatkan guru untuk mendulang suara pada pilkada dengan imbalan naik jabatan. 

"Pada saat pemilihan kepala daerah, misalnya, banyak guru yang terjebak ke dalam politik lokal. Keterlibatan mereka dipakai untuk untuk mendulang suara tokoh politik tertentu, bahkan menjadikan mereka sebagai tim sukses dengan imbalan naik jabatan," kata Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, dalam keterangan resmi, Rabu (2/2/2022).

Pernyataan itu disampaikan Alpha Amirrachman saat menjadi salah satu pembicara pada Bincang Pendidikan bertajuk Catatan Pendidikan Nasional: Dari Politisasi, Desentralisasi, hingga Problem pada Masa Pandemi di Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A Malik Fadjar Kota Malang, Rabu (26/1/2022).

Dalam buku berjudul: Education Decentralisation: Community Participation, Market, Politic and Local Identity (2021), yang dia tulis, Alpha menjelaskan asal mula konsep desentralisasi pendidikan.

Menurut Alpha, pada mulanya para pemangku kebijakan menilai sistem pendidikan yang sentralistik tidak demokratis dan efisien. Karena alasan itu, lalu lembaga pendanaan internasional mengusulkan desentralisasi sebagai sistem pemerintahan yang baru. 

"Desentralisasi akan membawa demokratisasi dan apresiasi terhadap kebutuhan lokal. Maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 sehingga sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari salah satu negara yang bersistem paling terpusat di dunia ke salah satu negara yang paling terdesentralisasi," ungkapnya.

UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, kata dia, juga berisi tentang berbagai tugas administrasi yang meliputi berbagai sektor kebangsaan, mulai dari sektor pembangunan infrastruktur, kesehatan, perdagangan, pertanian, industri, investasi, lingkungan dan lahan, hingga pendidikan. Semua sektor itu menjadi tanggung jawab utama bagi kabupaten dan kotamadya. 

"Sementara itu, untuk sektor keamanan dan pertahanan, kebijakan asing, masalah fiskal dan moneter, kebijakan ekonomi makro, hukum dan urusan agama menjadi tanggung jawab pemerintah pusat," urainya. 

Alpha mengingatkan, gelombang desentralisasi yang merambah Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tren global pada saat itu. Kebijakan desentralisasi tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Kehadirannya merupakan antitesis terhadap praktik bernegara secara sentralistik, yang sebelumnya dianggap sebagai cara yang efektif untuk pemerintahan. Namun kemudian semakin dianggap tidak efisien dan tidak demokratis.

Isu Strategis Pembangunan Pendidikan

Anggota Komisi X DPR, Zainuddin Maliki, mengatakan pemerintah berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Persoalannya, hal ini belum sepenuhnya terlaksana. Pemerintah dianggap kurang berhasil dalam membangun komunikasi dengan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat. 

"Akibatnya, lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat kurang mendapat perhatian dan memiliki kesan dianaktirikan. Padahal, sekolah-sekolah tersebut sangat banyak jumlahnya," ujarnya.

Kepala Biro Organisasi Setda Jawa Timur, Ramliyanto, menyoroti berbagai isu strategis pembangunan pendidikan. Menurut dia, isu pertama adalah perbedaan kualitas satuan pendidikan. Hal ini masih terjadi baik antar daerah kabupaten atau kota maupun antar sekolah.

"Tentu saja, perbedaan ini nantinya akan berpengaruh terhadap standar kualitas lulusan peserta didik," ucapnya.

Isu lainnya tentang sarana dan prasarana. Menurut dia, ketersedian sarana dan prasarana dalam proses belajar mengajar masih sering menjadi kendala. Utamanya dalam peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, khususnya di Jawa Timur. Dalam sistem zonasi, masih terdapat daerah "blank spot" yang tidak ada sekolah dalam jarak terjangkau. 

"Isu ketiga adalah minimnya kualitas guru dan tenaga pendidik," ujarnya.

Karena itulah, Ramliyanto menekankan, perlu ada peningkatan kualitas secara berkelanjutan terhadap kompetensi guru, baik kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian maupun kompetensi sosial.

Distribusi guru ke berbagai daerah di Indonesia juga harus proporsional. Era otonomi daerah saat ini sangat sulit. Tentu hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Read Next