logo

Sekolah Kita

Tidak Fair dan Adil, Madrasah Hilang di UU Sisdiknas

Tidak Fair dan Adil, Madrasah Hilang di UU Sisdiknas
Anggota Komite III DPD RI Hilmy Muhammad, Senin (28/3/2022) menilai tidak adil dan fair jika UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menghilangkan 'madrasah' yang selama masih dianaktirikan. (EDUWARA/Dok. Pribadi)
Setyono, Sekolah Kita28 Maret, 2022 15:30 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Daerah Istimewa Yogyakarta Hilmy Muhammad menilai akan tidak adil dan fair jika UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menghilangkan 'madrasah'. Selama ini tingkat 'madrasah', menurutnya, masih dianaktirikan.

Kepada Eduwara.com, Senin (28/3/2022), Hilmy menjawab pertanyaan secara tertulis soal polemik 'hilangnya' frasa madrasah dalam RUU Sisdiknas yang sedang ramai dibahas pemangku pendidikan.

“Terkait dengan RUU Sisdiknas, pertama, namanya juga masih RUU, jadi justru memberi peluang kepada kita semua segenap komponen masyarakat, khususnya stakeholder pendidikan memberikan masukan, kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikannya sebelum nanti menjadi UU," kata pengurus Pesantren Krapyak, Bantul, itu.

Di poin kedua, Hilmy mengatakan apabila semangatnya adalah reunifikasi dua badan penyelenggara pendidikan dalam kerangka penyetaraan perlakuan, pembinaan dan penganggaran maka hal itu adalah ide yang bagus dan menarik.

"Sebab selama ini, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang kelulusannya dianggap setara dengan SD, SMP dan SMA, tapi masih terasa sekali seperti dianaktirikan dalam soal pembinaan, penganggaran dan peluang melanjutkan ke perguruan tinggi," tegasnya.

Namun, apabila semangatnya adalah meninggalkan madrasah semakin terbelakang, maka itu namanya tidak fair dan tidak adil. Hal itulah yang menurutnya harus dilawan.

"Di UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, memang disebutkan madrasah, tetapi perlakuannya sama sekali jauh dari setara,” katanya.

Menurut dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, struktur kurikulum di madrasah sekarang ini justru lebih menjanjikan anak memiliki kualifikasi akademik yang dibutuhkan oleh pelajar seusianya, dan juga pengetahuan moral dan keagamaan yang mencukupi.

Hal ini berbeda dengan lulusan SD, SMP, SMA atau SMK yang dirasa sangat kurang dalam hal pendidikan moral dan keagamaannya. Hilmy mengaku sulit berharap lulusan dari jenjang sekolah itu, bagi yang beragama Islam, mampu membaca al-Qur'an dengan baik.

Di sekolah umum, mereka yang mampu membaca al-Qur’an dengan baik karena mereka juga sekolah agama pada sore hari, mengaji di masjid atau kursus sendiri. Padahal kita punya Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Jadi, okelah soal nama dan penyebutan mau pake sekolah atau madrasah, bagi saya sama saja. Tetapi bila kurikulum madrasah sekarang ini bisa lebih diserap oleh 'sekolah', maka itu adalah lebih baik," katanya.

Dihubungi secara terpisah, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta Sudaryanto berkomentar penghilangan kata madrasah dalam RUU Sisdiknas semestinya tidak perlu terjadi jika pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, paham akan historisitas dan peran madrasah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa selama ini.

"Bagaimana pun, madrasah, baik dari level Ibtidaiyah, Tsanawiah, maupun Aliyah, memiliki peran penting dalam memajukan pendidikan di Indonesia," jelasnya.

Bila pemerintah menafikan peran penting madrasah, salah satunya ialah penghilangan kata madrasah dalam RUU Sisdiknas, itu pertanda bahwa pemerintah mulai abai terhadap madrasah.

Read Next