logo

Sains

Wujudkan Kemandirian Obat, Indonesia Bisa Memanfaatkan Keragaman Hayati

Wujudkan Kemandirian Obat, Indonesia Bisa Memanfaatkan Keragaman Hayati
Tangkapan layar saat Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Lucia Rizka Andalusia memaparkan tantangan pada kemandirian farmasi dan alat kesehatan dalam seminar yang diselenggarakan Fakultas Farmasi UAD. (EDUWARA/Setyono)
Setyono, Sains22 April, 2022 18:01 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Kalangan akademis Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut pemanfaatan berbagai kekayaan hayati di Indonesia akan mampu menjadi solusi dalam kemandirian obat dan halal. Kementerian Kesehatan menyebut ada tiga masalah besar kesehatan yang menuntut perguruan tinggi ambil peran.

Hal ini terungkap dalam seminar nasional bertajuk '26 Years of Dedication and Impact: Producing Excellent Pharmacists' yang diselenggarakan Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, yang ditonton ulang Eduwara.com Jumat (22/4/2022).

Seminar itu menghadirkan tiga narasumber yaitu dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Nurfina Azam, dosen Farmasi UAD Nurkhasanah, serta Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Lucia Rizka Andalusia.

Melalui paparannya, Nurfina Azam menyatakan pentingnya penelitian dan pengembangan produk kesehatan berbasis bahan alami demi kemandirian obat.

"Apa yang dapat dilakukan dengan produk alami (tanaman obat)? Berbicara mengenai tanaman obat, tentunya bisa dilakukan menjadi sebuah penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pengobatan kesehatan, dan produk siap jual," paparnya.

Sebagai negara kaya, Indonesia adalah sebuah megacenter keanekaragaman hayati di dunia. Ada sebanyak 30.000 jenis tumbuhan dengan 7.000 di antaranya berkhasiat sebagai obat. Dari jumlah yang bisa dijadikan obat, sebanyak 6.606 tanaman sudah dibudidayakan serta dimanfaatkan secara komersial. Sedangkan sekitar 350 tanaman lainnya masih belum teridentifikasi.

"Melimpahnya tanaman obat ini terus terang memicu banyaknya penelitian, namun rata-rata tidak mendalam dan komprehensif. Inilah perlu mendapatkan perhatian," katanya.

Salah satu titik kelemahan dari penelitian tanaman hayati hingga bisa disebut obat adalah rendahnya rangkaian uji coba secara terus menerus. Tidak hanya itu, kendala pada proses pembudidayaan tanaman, proses produksi, pengembangan produk dan pemasaran mengakibatkan ketersediaan bahan baku dengan kebutuhan tidak seimbang.

Riset Halal

Dosen Farmasi UAD, Nurkhasanah menyarankan alangkah lebih baik memprioritaskan riset halal guna mendukung perkembangan industri halal untuk mendukung Indonesia sebagai pusat industri halal dunia 2024.

"Permasalahan industri halal Indonesia yaitu kontribusi berdasar nilai ekspor baru berkisar 3,8 persen dari total pasar halal. Padahal, Indonesia adalah konsumen produk makanan minuman halal terbesar atau sekitar 114 miliar US Dolar," katanya.

Nurhasanah mengatakan salah satu karakteristik negara bisa disebut maju adalah besarnya peran penelitian dalam mengembangkan industri. Karenanya, dia melihat pemerintah seharusnya mendorong kehadiran riset-riset yang yang berdampak tinggi seperti riset pengembangan material, riset pengembangan proses, dan riset pengembangan autentifikasi.

Dari Kemenkes, Rizka Andalusia menyatakan saat ini kendala kesehatan yang dihadapi Indonesia bisa dilihat dari dua hal, yaitu pada sektor kesehatan manusia serta sektor farmasi serta alat kesehatan.

"Pada sisi manusianya, negara kita masih menduduki peringkat kedua tertinggi dalam kasus Tuberkulosis. Kemudian tingginya kematian yang diakibatkan penyakit akibat gaya hidup seperti jantung diabetes, kanker dan lain sebagainya," katanya.

Kemudian tingginya tingkat prevalensi orang yang merokok di atas usia 15 tahun juga dinilai memberi tantangan sendiri. Secara keseluruhan, kondisi menjadi rata-rata angka harapan hidup di Indonesia rendah yaitu 71 dibandingkan dengan mereka yang bermukim di kawasan Asia-pasifik yang mencapai 75 tahun.

Kemudian dari sisi farmasi atau alat kesehatan, tantangan terbesarnya adalah ketergantungan bahan-bahan obat yang mengandalkan 90 persen impor, termasuk juga pada belanja alat-alat kesehatannya.

"Ini kemudian didukung oleh rendahnya anggaran penelitian pada riset kesehatan yang hanya 0,2 persen dari GDP. Di Amerika saja anggaran penelitian mencapai 2,8 persen dan Singapura menyediakan 1,9 persen," terangnya.

Karena itulah dirinya berharap peran aktif dari perguruan tinggi dalam hal peningkatan riset mengenai obat-obatan dan alat kesehatan sehingga mampu diproduksi di dalam negeri. 

Read Next