Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA—Institusi pendidikan dan riset diharapkan dapat memimpin dan mendorong arah pembangunan ekonomi Indonesia. Maka dari itu, anggaran untuk riset dan pengembangan (R&D) perlu juga ditingkatkan.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan orasi ilmiah secara virtual pada acara Indonesia Economic Outlook 2022 National Seminar di Jakarta, Senin (07/02/2022).
Ma’ruf melanjutkan, Korea Selatan dan Finlandia merupakan dua contoh negara yang memiliki capaian ekonomi gemilang karena berhasil menggabungkan ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) dengan kelembagaan yang solid. Adapun, salah satu karakter pokok dari kedua negara ini adalah menjadikan institusi pendidikan dan riset sebagai jangkar ekonomi.
“Tepat pada titik inilah pekerjaan rumah transformasi ekonomi tengah menanti di Indonesia,” tegasnya seperti dikutip dari situs resmi Wapres RI, Senin (07/02/2022).
Untuk mendukung transformasi ini, Wapres mendorong peningkatan pengeluaran untuk Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D) yang saat ini persentasenya dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat rendah.
“Salah satu yang wajib didorong ke depan adalah peningkatan pengeluaran domestik bruto untuk Research and Development/R&D (GERD) sebagai persentase dari PDB yang masih sangat rendah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Wapres memaparkan bahwa berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics 2018, GERD Indonesia hanya 0,23% pada 2018.
“Intensitas investasi penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara industri maju, seperti Korea Selatan yang telah berinvestasi sebesar 4,81%, Jepang sebesar 3,26%, dan Amerika Serikat sebesar 2,84% dari PDB-nya pada tahun 2018,” urainya.
Ketertinggalan tersebut, menurut Ma’ruf juga diperparah dengan jumlah peneliti di Indonesia yang saat ini masih sangat rendah dibandingkan dengan negara lain.
“Jumlah peneliti setara penuh waktu per satu juta penduduk di Indonesia hanya sebanyak 216 pada tahun 2018, sedangkan China dan Rusia jumlah penelitinya masing-masing berurutan sebanyak 1.307 dan 2.784 per satu juta penduduk pada tahun 2018,” ujar Wapres menyayangkan.
“Indonesia tertinggal jauh puluhan kali lipat dibanding ketersediaan peneliti di Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2018, yakni berurutan sebanyak 5.331 dan 7.980,” imbuhnya melansir data UNESCO Institute for Statistics 2016–2018.
Demikian pula, kata Wapres, ketersediaan ilmuwan dan insinyur yang diketahui dari persentase lulusan pendidikan tinggi di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di Indonesia juga masih rendah.
“Persentase lulusan bidang STEM di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 18,62%; 2017 sebanyak 18,55%; dan 2018 meningkat menjadi 19,42%. Situasi ini tergolong rendah dibandingkan negara anggota G20, seperti India dan Rusia pada tahun 2018 berurutan sebanyak 32,65% dan 31,06%,” paparnya melansir data Education Statistics World Bank 2016–2018.
Kondisi itulah, tutur Wapres, yang menjadi penyebab jumlah paten di Indonesia juga belum banyak.
“Pada tahun 2020 jumlah paten di Indonesia hanya 1.309, sementara itu jumlah paten di Brasil pada tahun yang sama mencapai 5.280, India 23.141, Amerika Serikat 269.586, dan China bahkan telah mencapai 1.344.817 aplikasi paten,” paparnya berdasarkan data World Intellectual Property Organization 2021.
Implikasi dari faktor-faktor tersebutlah, menurut Wapres yang menyebabkan inovasi belum menjadi praktik keseharian dalam banyak lapangan kehidupan, khususnya di bidang ekonomi di tanah air.