logo

Kampus

Tiga Dosen UGM Ubah Kotoran Sapi Jadi Sumber Energi

Tiga Dosen UGM Ubah Kotoran Sapi Jadi Sumber Energi
Tim peneliti UGM berencana untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai pengembangan katalis berbasis mineral lempung ini untuk valorisasi berbagai limbah biomassa basah yang jumlahnya signifikan di Indonesia. (EDUWARA/Dok. UGM)
Setyono, Kampus13 Oktober, 2023 18:48 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Tiga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil mengubah kotoran sapi menjadi bio oil sebagai sumber energi alternatif. Mereka menggunakan mineral lempung sebagai katalis dalam prosesnya.

Ketiga dosen itu diketuai Hanifrahmawan Sudibyo, dosen Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM. Kemudian, ada Budhijanto (Departemen Teknik Kimia UGM) dan Adhika Widyaparaga (Departemen Teknik Mesin dan Industri UGM).

"Kami bertiga sepenuhnya fokus pada riset mendalam pengembangan katalis berbasis mineral lempung untuk mengolah limbah biomassa, khususnya kotoran sapi yang jumlahnya cukup besar di Indonesia," jelas Hanif, dilansir Jumat (13/10/2023).

Merujuk data BPS, akhir tahun lalu terdapat sebanyak 19 juta ekor sapi di Indoensia. Jika setiap ekor sapi menghasilkan sekitar 87 kg kotoran basah setiap hari dengan kadar air 90 persen, maka secara keseluruhan terdapat sebanyak 570 juta ton kotoran sapi (wet basis) per tahun.

Hanif menyebutkan salah satu teknologi untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas yang kaya gas metan adalah Anaerobic digestion. Biogas yang dihasilkan, selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar, sumber panas, dan sumber energi pembangkit listrik, serta dapat disuntikkan ke jaringan gas alam setelah dimurnikan.

"Hanya saja, anaerobic digestion masih menghasilkan residu yakni digestate berupa campuran basah matriks organik dan anorganik yang kaya serat lignoselulosa, yang tidak dapat dicerna dan nutrisi yang komposisinya sangat bergantung pada karakteristik substrat yang diproses," terangnya.

Digestate ini, dikatakan Hanif, biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk dengan cara disebar langsung atau dikomposkan terlebih dahulu sebelum disebar di lahan pertanian dan padang rumput.

Namun, cara ini berpotensi melepaskan gas rumah kaca yang masih terfiksasi di dalam digestate, membentuk aerosol garam amonium yang dapat mencemari udara, menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman, serta menyebarkan patogen. Selain itu, menyebabkan cross-contamination, dan menyebabkan eutrofikasi dan asidifikasi badan air akibat akumulasi N dan P yang tidak terkontrol.

Untuk memitigasi potensi ancaman terhadap lingkungan di atas, diperlukan metode pengelolaan digestate yang lebih berkelanjutan, yang sejalan dengan konsep bioekonomi sirkular.

Tim peneliti UGM berencana untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai pengembangan katalis berbasis mineral lempung ini untuk valorisasi berbagai limbah biomassa basah yang jumlahnya signifikan di Indonesia.

Read Next