Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JOGJA - Minusnya produksi gula dalam negeri dibandingkan kebutuhan dinilai karena belum ada penerapan teknologi peningkatan produktivitas pada tanaman tebu. Konsumsi gula setiap tahun mencapai 5,9 juta ton, namun penerapan teknologi penanaman hanya mampu memproduksi maksimal 3,3 juta ton.
Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Irham mengatakan sebenarnya peluang peningkatan produktivitas tebu dalam rangka akselerasi swasembada gula nasional masih terbuka.
"Hasil studi di enam pabrik gula di lingkungan PT Perkebunan Negara (PTPN) XI pada 2018 menunjukkan adanya peluang peningkatan produksi tebu secara signifikan," kata Irham saat berbicara di 'Seminar Gula Nasional Peningkatan Kesejahteraan Petani Tebu Menuju Swasembada Gula Nasional Berkelanjutan', Jumat (8/7/202) di Balai Senat UGM.
Pada 2020, tercatat potensi peningkatan produksi tebu PTPN bersama rakyat berdasar protas tertinggi 37.9 ton. Sedangkan berdasarkan protas maksimal dicapai yakni 48.2 ton.
Lalu, peluang peningkatan produksi gula nasional dengan teknologi yang dikuasai petani saat ini bisa ditingkatkan menjadi 3.326.750 ton. Dengan teknologi yang lebih baik, produksi gula nasional bisa ditingkatkan menjadi 4.047.237 ton.
"Lalu bagaimana agar produksi gula nasional bisa mencapai 5,9 juta ton sehingga kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri bisa dipenuhi tanpa harus impor?" tuturnya.
Metode Ring-Pit
Irham mengatakan hal tersebut bisa dicapai dengan terobosan teknologi melalui adopsi metode ring-pit. Teknologi ini telah diaplikasikan di India. Tebu ditanam di lubang bundar (ring-pit). Bakalan tebu ditanam secara melingkar dengan mengikuti kontur lubang.
Metode ini menghemat pupuk, daya serap tanaman terhadap pupuk maksimal, menghemat air, batang yang tumbuh besar-besar. Selain itu juga meningkatkan produktivitas dan rendemen seperti yang dilaporkan Indian Institute of Sugarcane Research di mana tingkat produktivitas tebu di India meningkat dua hingga tiga kali lipat (100-300 persen).
"Sementara berdasar hasil penelitian kita, peningkatan produktivitas maksimal sebesar 1,75 kali atau 78 persen. Dengan adopsi metode ring-pit memungkinkan kita tak hanya swasembada namun juga bisa mengekspor gula,"paparnya.
Peningkatan produktivitas baik dengan metode eksisting maupun dengan metode ring-pit membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun, data tersebut bisa dialokasikan dari pungutan impor gula (levy) dikenakan pada importir gula yang besarnya ditetapkan dengan peraturan.
Pembicara lainnya, Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima, meminta pemerintah menjamin ketersediaan gula di pasar domestik dengan harga yang terjangkau masyarakat. Pemerintah harus bertindak tegas menegakkan hukum jika tidak ingin jatuh pada jebakan pangan (food trap) akibat pilihan kebijakan yang bermuara pada penyediaan yang bertumpu pada impor.
"Kurangi impor perlahan dengan meningkatkan produktivitas dalam negeri dan pembenahan SDM gula. Saat ini impor gula terus meningkat dengan rata-rata 19 persen per tahun," katanya.
Bima mengungkapkan Indonesia pernah mengalami kejayaan gula pada 1930-1932 dan menjadi salah satu negara pengekspor gula terbesar dunia. Namun, saat ini industri gula dalam negeri tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan gula baik untuk konsumsi maupun industri.