logo

Art

Melihat Perjalanan Industri Rekaman Musik Melalui Museum Lokananta

Melihat Perjalanan Industri Rekaman Musik Melalui Museum Lokananta
Piringan Hitam Indonesia Raya produksi Lokananta. (Eduwara/K.Setia Widodo)
Redaksi, Art08 April, 2022 05:05 WIB

Eduwara.com, SOLO – Industri rekaman musik di Indonesia tidak lepas dari peran salah satu studio di Kota Solo, Lokananta. Berawal dari pabrik piringan hitam pendukung Radio Republik Indonesia (RRI), Lokananta bertransformasi sesuai perkembangan zaman sejak mulai berdiri pada 29 Oktober 1956.

Misalnya ketika 5 Agustus 1962, Lokananta memproduksi empat album kompilasi untuk Asian Games IV Asian Games Souvenir from Indonesia. Kemudian 16 Maret 1965, Lokananta berperan dalam perilisan lagu-lagu wajib/perjuangan negeri ini. Seperti Indonesia Raya, Bagimu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, dan Rayuan Pulau Kelapa.

Tahun 2012—2015, para artis tanah air mulai merekam karya lagu-lagu mereka di Lokananta seperti Glen Fredly, White Shoes and The Couple Company, hingga band aliran ska ternama asal Jogja, Shaggydog.

Selanjutnya, pada 18—20 Mei 2017, Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan merekam ulang lagu Indonesia di tempat ini. Perekaman tersebut menjadi rangkaian kegiatan Tutorial Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Kisah-kisah jatuh bangun studio rekam tertua di Indonesia itu tersimpan rapi dalam ruang museum. Bertempat di Jalan Ahmad Yani No. 379A, Kerten, Laweyan, Solo, Lokananta berdiri gagah dan masih bisa bersaing dalam industri rekam musik Nusantara.

Untuk bisa menikmati kisah itu, pengunjung dikenakan membayar tiket sebesar Rp20.000. Dengan biaya tersebut, pengunjung akan mendapatkan totebag berisi stiker logo Lokananta dan dibawa menuju lima ruangan yang berisikan koleksi-koleksi berharga dari Lokananta.

Koleksi kaset pita Museum Lokananta. (Eduwara.com/K. Setia Widodo)

Lima Ruangan Koleksi

Koleksi ruang pertama yaitu seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Sri Kuncara Mulya. Dulunya perangkat gamelan itu digunakan untuk rekaman di ruang studio.

"Gamelan ini dibuat konon katanya di masa Pangeran Diponegoro. Turun temurun dirawat di Keraton Jogja kemudian dipindah ke Keraton Solo. Kemudian dihibahkan kepada Lokananta tahun 1984," tutur Marketing Lokananta Anggit Wicaksono kepada Eduwara.com, Kamis (7/4/2022) di ruang gamelan.

Saat ini, gamelan tersebut sudah tidak digunakan kembali. Apabila ingin digunakan harus disetel terlebih dahulu karena lama tidak digunakan. Beranjak ke ruangan selanjutnya yaitu koleksi produk.

Di ruangan itu tertata rapi produk-produk dari Lokananta berupa piringan hitam, kaset pita, dan CD. Karena dulunya di bawah RRI, maka produk piringan hitam tidak jauh dari kebudayaan Jawa khususnya Solo. Ada tiga ukuran piringan hitan yang diproduksi yaitu 7, 10, dan 12 inci berdasarkan diameternya.

Ada 332 album piringan hitam yang pernah diproduksi Lokananta. Saat ini piringan hitam tidak diperjualbelikan, hanya kaset pita dan CD yang masih bisa diperjualbelikan. Merambah koleksi kaset pita, dimulai tahun 1971 di album tape penyanyi keroncong legendaris, Waljinah.

Menurut Anggit, perubahan dari piringan hitam menuju kaset pita disebabkan oleh beberapa faktor antara lain harga kaset pita yang lebih murah.

"Harga satu piringan hitam bisa mendapat sekitar lima kaset pita, namun dengan kualitas audio yang turun. Kemudian mau tidak mau Lokananta harus memproduksi pita kaset mungkin karena Jakarta dan Bandung sudah memulainya, serta pemasaran kaset pita bisa menjangkau semua kalangan," jelas dia yang juga pemandu museum.

Setelah di ruangan produk, pengunjung dibawa ke ruang mesin yang dulu digunakan sebagai tempat produksi dan rekaman. Di tempat itu terdapat mesin real tape yang digunakan untuk memproduksi piringan hitam dari master rekaman di RRI. Selain itu juga ada mesin yang digunakan untuk menggandakan master rekaman, duplikasi kaset pita, dan mesin edit sekaligus menggandakan video.

Salah satu sudut ruangan mesin produksi Museum Lokananta. (Eduwara.com/K. Setia Widodo)

Masa Kejayaan Lokananta terjadi pada era kaset pita yaitu sekitar tahun 1980an. Di tahun itu, Lokananta bisa memproduksi dan mengedarkan kaset sebanyak 100.000 unit per bulan. Sejalan dengan masa kejayaan, tahun 1985 studio rekaman dibangun. Oleh karena itu selain memproduksi kaset, Lokananta juga merekamkan lagu dari artis-artis maupun grup musik.

Masa kejayaan juga menjadi masa terpuruk bagi Lokananta. Maraknya penjualan kaset mengakibatkan adanya pembajakan-pembajakan.

"Saya pernah ngobrol dengan beberapa kolektor di Solo, ada tiga industri rumahan yang membajak kaset-kaset Lokananta. Biasanya satu kaset produksi Lokananta bisa mendapatkan tiga kaset bajakan. Tentu dengan kualitas audio yang sangat jauh di bawah hasil produksi Lokananta," kata dia.

Setelah ruangan produksi, pengunjung dibawa ke dua ruang penyimpanan piringan hitam yang tidak sempat terjual. Total semua piringan hitam yaitu sekitar 53.000an keping dengan berbagai genre musik yang berbeda. Ruang terakhir adalah ruang rekaman yang berada di sebelah timur museum.

Salah satu koleksi penting yang masih tersimpan adalah master rekaman tahun 1951 yang berisi pembacaan proklamasi, Indonesia Raya, dan Satu Nusa Satu Bangsa.

"Menurut master yang dikirim ke sini dari RRI Jakarta, track lagu pertama yaitu proklamasi, kemudian Indonesia Raya, dan Satu Nusa Satu Bangsa. Master rekaman yang lain menyusul. Lokananta hanya memproduksi piringan hitam dan menyebarkan melalui RRI seluruh Indonesia," ujar Anggit. (K. Setia Widodo)

Read Next