Guru Besar UNS: Pemerintah Dilema Pilih Biodiesel atau Minyak Goreng

11 Maret, 2022 01:55 WIB

Penulis:M. Diky Praditia

Editor:Ida Gautama

11032022-UNS Gubes ttg migor langka.jpg
Guru Besar UNS Bidang Pencemaran Lingkungan, Prabang Setyono saat diwawancarai awak media. (EDUWARA/M. Diky Praditia)

Eduwara.com, SOLO – Guru Besar Bidang Ilmu Pencemaran Lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prabang Setyono menyebut kelangkaan minyak goreng di Indonesia yang terjadi sekarang ini merupakan akibat dari tidak seimbangnya penggunaan minyak kelapa sawit sebagai biodiesel dan minyak goreng.

“Niat pemerintah sebenarnya sudah baik, ingin mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara produksi minyak kelapa sawit dikonversi menjadi biodiesel. Pemerintah ingin mengurangi bahan bakar fosil yang tinggi emisi,” kata Setyono, di Kampus UNS, kemarin.

Menurut Setyono, pemerintah memang sedang berupaya mengurangi pencemaran lingkungan. Penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan sedang ditingkatkan untuk mewujudkan sustainable development goals (SDGs).

Sayangnya, niat baik ini tidak dibarengi dengan persiapan dan regulasi yang baik pula. Pemerintah belum bisa membagi secara proporsional antara minyak kelapa sawit sebagai bahan biodiesel dan sebagai minyak goreng.

“Pemerintah mengalami dilema antara pilih biodiesel atau minyak goreng. Realita di lapangan minyak goreng mengalami kelangkaan. Harganya pun menjadi mahal,” ujar dia.

Seharusnya, lanjut Setyono, sumber daya untuk menghasilkan bahan bakar rendah emisi tersebut bukan dari minyak kelapa sawit. Hal itu karena kelapa sawit merupakan sumber daya edible atau bisa dimakan. 

Pemerintah harus mencari substitusi sumber daya lain yang tidak edible. Dia mencontohkan pohon Jarak. Menurutnya Jarak memiliki nilai fungsi yang sama dengan kelapa sawit. 

“Biji Jarak sudah terbukti bisa menjadi sumber bahan bakar baru. Sudah uji laboratorium dan go public,” jelas Setyono.

Memang tidak mudah mengganti sumber daya yang sudah mapan dengan sumber daya yang belum kuat secara infrastruktur. Namun pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk memecahkan masalah kelangkaan ini. 

“Sekarang persoalannya perihal persediaan Jarak. Kenyataan di lapangan Jarak masih belum banyak ditanam. Dulu petani plasma memang banyak menanam Jarak. Tapi karena tidak ada kepastian pasar banyak yang beralih menanam padi,” beber dia.

Setyono yang baru saja dikukuhkan menjadi Guru Besar itu menyebut tindakan petani kembali menanam padi sebagai bentuk protes karena tidak ada keadilan ekologi pada saat itu. 

Dirinya menegaskan kembali, selama pemerintah belum bisa membagi secara proporsional, kelangkaan minyak goreng akan sering terjadi di masyarakat. Jadi, kuncinya ada pada pemerintah. Apakah pemerintah mau membagi secara proporsional antara produksi kelapa sawit untuk biodiesel dan minyak goreng  atau mencari sumber daya lain yang tidak edible untuk dijadikan bahan biodiesel.

“Menurut saya lebih baik mencari sumber daya lain yang tidak edible untuk bahan biodiesel. Apalagi, kelapa sawit memiliki dampak lingkungan yang kurang baik,” pungkas dia.