EduBocil
24 November, 2022 15:03 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, SOLO – Berbicara mengenai program wajib belajar 12 tahun tidak bisa dilepaskan dari peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menjadi pijakan awal dalam menempuh jenjang pendidikan. Sayangnya, di Kota Solo, masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah dalam penyelenggaraan PAUD.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Solo Sugeng Riyanto dalam Focus Group Discussion "Seberapa Siapkah Implementasi Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta?", Rabu (23/11/2022).
Menurutnya, pekerjaan rumah itu adalah, pertama, mengenai kesejahteraan guru PAUD.
"Selalu yang dikeluhkan guru ialah terkait kesejahteraan. Padahal sudah ada Peratural Wali Kota (Perwali) yang menyebutkan bahwa satu tahun pra-SD adalah pondasi awal sebelum memasuki jenjang pendidikan di sekolah dasar," kata dia.
Artinya, sambung dia, ketika penyelenggaraan PAUD di Kota Solo bagus, besar harapan ketika masuk SD tinggal menindaklajuti output dari penyelenggaraannya. Namun, jika di PAUD masih terkesan alakadarnya, tentu akan menjadi PR guru SD ketika menerima siswa dari PAUD yang tidak tertangani dengan baik.
"Bagaimana bisa mendatangkan output yang bagus jika kesejahteraan gurunya masih bermasalah. Jadi ibaratnya menjadi guru PAUD lebih kepada panggilan hati nurani, bukan karena faktor gaji," terang dia.
Berikutnya, lanjut Sugeng, terkait dengan standarisasi penyelenggaraan PAUD. Misalnya ada PAUD yang memiliki lokasi yang kecil atau tidak standar, sehingga ruang gerak bagi anak-anak yang mestinya luas tidak terpenuhi.
"Persoalan-persoalan semacam ini saya kira menjadi persoalan awal yang harus kita cermati ketika berbicara tentang wajib belajar 12 tahun," tegas dia.
Menurut dia, peraturan daerah mengenai PAUD masih parsial atau belum mengupas secata utuh. Kemudian adanya batasan-batasan di regulasi di atasnya mengakibatkan APBD tidak ada kewenangan lebih untuk memberikan support kepada guru PAUD.
Berbicara tentang wajib belajar 12 tahun, sambung dia, sesungguhnya tidak berbicara tentang kota atau kabupaten. Tetap ada aspek yang sifatnya kebijakan dari pusat yang juga perlu dipertimbangkan.
Lebih lanjut, Sugeng juga menyoroti fenomena banyaknya orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta daripada sekolah negeri. Di mana hampir sekolah swasta tersebut merupakan sekolah berbasis agama atau spiritualitas.
"Artinya ada PR besar di penyelenggaraan pendidikan SD negeri kita yaitu kurangnya dari aspek keagamaan. Barangkali hal ini adalah salah satu faktornya, sehingga orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya di sekolah dasar berbasis agama," ungkap dia.
Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah dasar negeri. Fenomena ini juga didukung dengan adanya regrouping SD di Kota Solo yang mana di tahun 2023 atau 2024 sudah direncanakan ada 26 SD yang akan digabung menjadi 13 SD.
"Saya kira perlu ada formulasi menjawab problem ini. Apakah misalnya dengan Dinas Pendidikan (Disdik) menjalin kerja sama dengan institusi agama seperti MUI, GKJ, dan lainnya agar memberikan tambahan-tambahan sehingga kekhawatiran orang tua bisa terjawab di situ," ujar dia.
Kemudian, terkait dengan output siswa SD berkualitas harus ditunjang oleh sistem penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas pula. Misalnya, siswa yang diajar oleh guru yang sudah S2 akan berbeda dengan yang diajar oleh guru lulusan S1 bahkan D3.
Oleh karena itu, pihaknya tidak bisa serta merta melemparkan solusi-solusi yang dibutuhkan ke dinas, namun juga menjadi tanggung jawab DPRD Kota Solo. Maka, ke depannya perlu ada keberpihakan anggaran yang tidak berhenti di aspek fisik sekolah, tetapi ada prioritas bagi guru untuk melanjutkan pendidikan. (K.Setia Widodo)
Bagikan