Sekolah Kita
25 April, 2022 12:43 WIB
Penulis:Bunga NurSY
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, KUPANG—Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memulai uji coba dan sosialisasi implementasi modul Perlindungan Anak Berbasis Sekolah (PABS) kepada para guru di sekolah menengah sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak di sekolah.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian PPPA Ciput Eka Purwianti mengatakan penyusunan modul ini dilakukan bekerjasama dengan ChildFund International dan tim penyusun dari kelompok ahli serta mendapatkan masukan dari para praktisi pendidik dan kependidikan.
“Modul ini merupakan respon sekaligus upaya pencegahan bagi maraknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di sekolah,”ungkapnya dalam siaran pers KemenPPPA, Senin (25/04/2022).
Dia menambahkan, modul ini diharapkan dapat menjadi pelengkap dari kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan, terutama aspek kapasitas guru dan tenaga kependidikan untuk melakukan upaya pencegahan dan deteksi dini terjadinya kekerasan pada anak didik sekolah.
“Dalam jangka panjang, sekolah dan para guru diharapkan dapat membentuk sistem perlindungan khusus anak yang sesuai dengan mekanisme child safeguarding sekaligus mengakomodir ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing sekolah,” ungkap Ciput.
Ciput menegaskan, untuk menguji implementasi dari modul ini, KemenPPPA dan Childfund melakukan ujicoba dan sosialisasi kepada sejumlah guru sekolah menengah yang ada di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 19 April 2022—22 April 2022).
Wilayah ini terpilih karena tingginya kasus kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan di sekolah maupun di rumah oleh orang tua siswa didik, akibat kultur yang masih permisif terhadap kekerasan pada anak.
“Pola asuh sangat erat kaitannya dengan karakteristik anak. Jika anak terbiasa melihat kekerasan di dalam rumahnya, maka ia akan meniru perilaku tersebut dan melakukannya kepada orang lain,” jelas Ciput.
Adapun, Ciput menegaskan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak, negara memiliki mekanisme melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Hal ini berdasarkan prinsip bahwa anak-anak yang menjadi pelaku adalah juga korban dari sistem sosialnya. Maka selain perlu adanya intervensi bagi anak, perlu juga intervensi bagi lingkungan sosialnya termasuk lingkungan pendidikan.
Selain itu, lanjutnya, anak korban kekerasan yang tidak mendapatkan rehabilitasi juga berpeluang dua kali lipat untuk menjadi pelaku kekerasan di masa dewasanya.
Hal inilah yang meresahkan bagi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT Dumul
“Kekerasan tidak hanya menjadi isu bagi anak didik namun juga menjadi isu bagi guru-guru, karena baik anak didik maupun guru memiliki potensi untuk menjadi pelaku sekaligus korban kekerasan di sekolah”, katanya.
Uji coba dan sosialisasi ini menggunakan pendekatan Pendidikan bagi Orang Dewasa (Andragogi) yang menekankan pada proses partisipasi dan pelibatan dalam proses belajar sebagai metode bagi partisipan yakni guru-guru sekolah menengah pertama.
Bagikan