Sekolah Kita
04 Juli, 2022 22:32 WIB
Penulis:Setyono
Editor:Ida Gautama
Eduwara.com, JOGJA – Melalui buku yang berisi pengalaman menjadi fasilitator di Sanggar Anak Alam (Salam) Daerah Istimewa Yogyakarta, Gernatatiti menyimpulkan konsep 'Merdeka Belajar' itu sama dalam paradigma namun berbeda dalam metode pengajaran.
Buku berjudul 'Sekolah Tanpa Jurusan' diluncurkan Senin (4/7/2022) siang di Salam Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam buku tersebut, Gernatatiti menceritakan segala hal selama dirinya mendampingi dan mengajar selama 3,5 tahun di SMA Salam.
"Ini kumpulan jurnal selama jadi fasilitator di SMA Salam di mana Salam sendiri menarik sebagai tempat belajar mulai dari anak-anak PAUD sampai SMA," kata Gerna kepada Eduwara.com.
Terbagi dalam tiga tema besar, Gerna mengisi bukunya dengan pengalamannya dalam menyusun kurikulum pada awal semester, pelaksanaan kurikulum yang disepakati dan evaluasi pelaksanaan kurikulum pada akhir semester.
"Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan nasional kita, konsep Sekolah Salam tidak apel ke apel. Di Salam kita membuat cara belajar sendiri. Namun dari pengujicobaan di lab, konsep maupun kurikulum yang kita susun kompatibel dengan perkembangan zaman," jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya, konsep pembelajaran di Salam adalah mengasah daya berpikir dan kritis anak didik, bukan memberi materi yang nantinya menuntut anak. Jika anak ingin mengetahui sesuai maka dia harus mencari sendiri. Yang dikuatkan di Salam adalah mengasah cara belajar anak.
Konsep ini bagi Gerna sangat dinamis jika dibandingkan sistem pendidikan nasional milik pemerintah, di mana ada kemungkinan setiap ganti Menteri, ganti kurikulum.
"Yang penting paradigmanya benar, tetapi metodenya bisa saja berubah-ubah. Jadi itu yang saya tangkap dari pengalaman menjadi fasilitator di Salam. Dinamikanya sangat kuat, kalau tidak siap berdinamika maka tertinggal," katanya.
Gerna mencontohkan bagaimana fasilitator harus menyiapkan berbagai program penulisan, ketika pada awal semester para siswa menunjukkan minat pada pembelajaran penulisan. Demikian juga dengan kurikulum memasak akan disusun dan diberikan saat siswa berminat pada pembelajaran tata boga.
"Prinsipnya satu, paradigmanya harus benar, metodenya harus benar. Memang kalau melihat paradigmanya, di buku saya ini tidak ada, di buku yang lain, yang sudah dituliskan tertuang jelas konsep Sekolah Salam," ujarnya.
Pendokumentasian
Dengan bukunya, Gerna berharap mampu menginspirasi rekan-rekan pendidik lainnya di daerah yang ingin mengembangkan konsep serta kurikulum yang diterapkan di Sekolah Salam.
Pendiri Salam Sri Wahyaningsih memaparkan sebenarnya pendokumentasian melalui tulisan ini tidak hanya dilakukan para fasilitator, namun juga siswa dan orang tua.
"Ini sesuatu yang nyata. Apa yang dialami dan bagaimana fasilitator, anak didik maupun orang tua menemukan cara belajar dan bertanggung jawab pada target-target pada dirinya," ujarnya.
Konsep seperti itu sebetulnya yang digencarkan oleh Merdeka Belajar, namun itu baru jargon. Dengan mendokumentasikan sendiri apa yang dilakukan, maka rekam jejak itu bisa dilacak, dievaluasi dan dikembangkan kembali.
Pembicara Muhidin M Dahlan menyebut buku karya Gerna ini seperti bus kota yang sepi. Baginya, seorang guru memiliki waktu luang dan digunakan untuk menulis adalah sesuatu yang harus sangat disyukuri.
"Yang lainnya (guru-guru lain, red) enggak. Karena tidak punya kesempatan apapun untuk mendokumentasikan pengalaman mengajar," jelasnya.
Muhidin sepakat konsep pendidikan yang baik itu adalah dinamis dan terus bergerak. Tidak terus terpaku pada hal-hal kuno seperti yang dipraktikkan para pendidik sekarang.
Muhidin menukil pada halaman 94, seharusnya gerakan Pramuka itu tidak pergi ke gunung atau ke pantai untuk menemukan masalah di masyarakat. Gerakan Pramuka itu idealnya turun ke masyarakat sekitarnya untuk menemukan dan mendapatkan solusi permasalahan.
Bagikan