Kampus
15 November, 2021 09:25 WIB
Penulis:Bunga NurSY
Editor:Bunga NurSY
Eduwara.com, JAKARTA— Para pakar meyakini bahwa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) melengkapi kerangka hukum yang sudah ada dan merupakan upaya untuk menekan tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Hal itu disampaikan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti di sela sosialiasi Permendikbudristek PPKS sebagai Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual.
“Permendikbudristek PPKS ini keluar karena intinya adalah, semua orang yang bisa melakukan sesuatu dan punya kewenangan sesuai kapasitasnya harus terus bergerak. Karena angka kasus kekerasan seksual ini bukan sekadar angka. Satu saja yang menjadi korban, itu adalah manusia yang jadi korban,” tutur Bivitri dalam siaran pers Kemendikbudristek, Jumat (12/11/ 2021).
Terkait sebagian kecil publik yang mempermasalahkan kata ‘tanpa persetujuan’ seakan menjadi boleh untuk melakukan hubungan seksual jika ada persetujuan. Bivitri menilai alasan tersebut tidak berdasar.
“Dalam hukum, terutama dalam sistem hukum Indonesia, bukan begitu cara berpikirnya. Tidak semua yang tidak diatur dalam sebuah peraturan maka menjadi boleh. Tidak seperti itu.”
Terakhir Bivitri juga menjawab mispresepsi masyarakat terkait perlindungan bagi pelaku kekerasan di kampus sehingga tidak perlu dibawa ke ranah penegakan hukum. Bivitri melihat bahwa Permendikbudristek ini mengatur dari dua sisi, yaitu pencegahan dan pendampingan.
“Permendikbudristek PPKS mengatur juga pendampingan hukum. Pendampingan hukum untuk siapapun itu, bisa mahasiswa atau dosen, bisa melakukan pelaporan. Jadi, tidak menghilangkan atau memberikan imunitas untuk pelaku, tapi didampingi agar kasusnya bisa selesai,” ujarnya.
Dalam peluncuran Merdeka Belajar episode teranyar ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menjadi moderator sesi diskusi panel dengan narasumber tokoh-tokoh yang ahli dibidangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Andy Yentriyani menuturkan pada 2020, angka kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan terus meningkat.
“Tahun ini terdapat 2.389 kasus kekerasan. 53% dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual, termasuk di dalam lembaga pendidikan. Ini adalah kasus yang berhasil dilaporkan ke Komnas Perempuan. Banyak kasus yang tidak terlaporkan sama sekali,” ujar Andy.
Lebih lanjut Andy menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual, bisa terjadi terhadap mahasiswi oleh mahasiswa atau oleh dosen, atau dosen terhadap dosen yang lain, ataupun juga terhadap karyawan ataupun pekerja lain di dalam lingkungan pendidikan.
“Konsep menyalahkan kekerasan seksual sebagai tindakan suka sama suka menjadi hambatan terbesar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual,” tegas Andy.
Untuk itu, kata Andy, Permendikbudristek PPKS ini penting untuk hadir khususnya di perguruan tinggi. “Terutama Pasal 19 yang menekankan bahwa jika upaya untuk menyikapi, baik itu pencegahan dan penanganan kekerasan ini tidak dilakukan maka juga ada sanksi. Bukan hanya saja kepada pelaku tetapi kepada lembaga pendidikan itu sendiri,” tuturnya.
Bagikan