logo

Kampus

Muhammadiyah Kritisi Permendikbudristek 30/2021

Muhammadiyah Kritisi Permendikbudristek 30/2021
Majelis Diktillitbang PP Muhammadiyah (https://web.facebook.com/diktilitbangmuhammadiyah)
Setyono, Kampus08 November, 2021 17:05 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Pemuatan frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Ristek dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dikritisi PP Muhammadiyah.

Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah menilai frasa "tanpa persetujuan korban" telah mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada 'persetujuan korban (consent)'.

Termuat dalam Pasal 5 Permendikbudristek No 30/2021, menurut Ketua Diktilitbang Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

Permen tersebut dianggap memberikan standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak.

"Implikasinya, selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Ini seperti pengingkaran pada nilai agama dan melegalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan," terang Lincolin, Senin (8/11)

Kritikan lain yang disampaikan Diktilitbang PP Muhammadiyah ada pada pasal 19 yang menyebutkan pemerintah akan memberikan sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual

"Ini tidak tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan," lanjutnya.

Lewat rilisnya, Diktilitbang mewakili Persyarikatan Muhammadiyah mengajukan tiga rekomendasi yaitu meminta Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik, khususnya unsur penyelenggara pendidikan tinggi.

Kemendikbudristek diminta merumuskan ulang kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan UUD 1945.

'Kementerian sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permen tersebut agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil dan materil. Salah satunya norma yang bertentangan dengan agama," tutup Lincolin. 

Read Next