Rektor UGM: Kebijakan Mas Menteri untuk Hilangkan Stigmatisasi Pendidikan

10 September, 2022 06:14 WIB

Penulis:Setyono

Editor:Ida Gautama

10092022-UGM Rektor tanggapi skema tes masuk PTN.jpeg
Rektor UGM, Ova Emilia saat penerimaan mahasiswa baru 2022/2023. Dia mendukung perubahan skema tes masuk PTN karena dinilai menghapus stigmanisasi yang selama ini terjadi di dunia pendidikan sejak dini. (EDUWARA/Dok. UGM)

Eduwara.com, JOGJA – Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Ova Emilia mengatakan kebijakan mengubah skema tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim dinilai sebagai upaya menghapus stigmatisasi yang selama ini terjadi di dunia pendidikan sejak dini.

Dihubungi wartawan Jumat (9/9/2022) petang, Ova lugas menyebut selama ini pendidikan nasional sudah berlebihan melakukan pengotak-ngotakan anak didik sejak dini.

"Stigmatisasi yang muncul, anak didik jurusan IPS itu lebih baik dan anak IPS nantinya bisa mencari makan. Orang sudah stigmatisasi dari awal. Fair saja, nanti seperti apa," jelasnya.

Ova menyebut kebijakan Mendikbudristek ini sangat bagus, karena sudah dilakukan atas kajian dan evaluasi tentang yang selama ini terjadi.

Lebih jauh, Ova mengatakan pada dasarnya strata sarjana sebenarnya masih merupakan tingkat dasar yang masih bersifat generic. Karena itu, kebijakan Mendikbudristek mencoba mengajak pemangku kebijakan pendidikan untuk tidak terlalu mengotak-ngotakan atau focus pada silo yang terlalu rigid.

"Berbagai program, Merdeka Belajar dan kesempatan magang bertujuan agar mahasiswa dan dosen harus belajar hal lain agar nantinya lebih sensitif dan applicable di lapangan dalam menjawab tantangan serta masalah yang dihadapi," katanya.

Ova juga mengatakan perubahan materi tes kognitif tentang materi mata pelajaran ke pertanyaan skolastik, khususnya pada jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), mengutamakan penalaran dan logika bukan menghafalkan rumus.

Ke depan, menurut Ova, perubahan ini akan terjadi sangat dinamis karena hilangnya pengotak-ngotakan dalam pemilihan jurusan akan mengembangkan daya pikir anak dan lebih terbuka.

"Tantangannya ke depan, khususnya di UGM adalah bagaimana nantinya kami meramu dan menyusun ulang kurikulum yang diajarkan. Dengan harapan, agar 20 persen mahasiswa yang mengira salah jurusan tidak ada lagi," katanya.

UGM masih terus merumuskan nantinya akan seperti apa penerapan kurikulum wajib dan umum. Menurutnya, di empat semester awal, terjadi proses seleksi bagi mahasiswa yang misalnya orangnya tidak cocok nanti akan diberi ruang untuk bisa saja keluar.