Gagasan
23 Februari, 2022 06:21 WIB
Penulis:Algooth Putranto
Editor:Bunga NurSY
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, saat berada di Makassar seperti diberitakan oleh Kantor Berita Antara, Jumat (18/2/2022), menyatakan naiknya harga kedelai di Indonesia karena salah satunya cuaca buruk El Nino di kawasan Amerika Selatan, sementara salah duanya karena babi!
Dia menyatakan jika baru-baru ini, di negeri tirai bambu China ada lima miliar babi baru yang semuanya itu pakannya adalah kedelai. "Di China itu, awalnya peternakan babi di sana tidak makan kedelai, tapi sekarang makan kedelai. Apalagi baru-baru ini ada lima miliar babi di peternakan China itu makan kedelai," katanya.
Akibat amukan badai El Nino dan rakusnya babi di China, harga kedelai per gantang yang sebelumnya US$12 naik menjadi US$18 per gantang. Pendek kata, impor kedelai tahun ini susah karena barangnya tak mudah didapat.
Kelangkaan kedelai, bukan hal baru di Indonesia. Ndilalah, tahun 2012 pun terjadi hal yang sama. Saat itu Mendag Gita Wirjawan jadi bulan-bulanan sana sini karena kedelai sempat menghilang dari pasaran. Harga melejit, perajin menjerit.
Tambah ruwet, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menuding kedelai impor yang masuk ke Indonesia memiliki kualitas rendah, dan biasa dipergunakan untuk pakan ternak babi. Debat kusir pun terjadi.
Eh, entah bagaimana, setelah drama kedelai muncul drama impor beras, Pak Gita yang Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada akhir 2013 malah mundur dari posisi Mendag, demi ikut Konvensi Capres Partai Demokrat.
Nah, Eduwara mencoba menelusuri, apa benar alasan Pak Menteri Lutfi. Masa babi penyebab kedelai mahal. Jangan-jangan cuma ngeles panik karena belum berhasil membereskan persoalan kelangkaan minyak goreng. Lagi-lagi, yang ngambek mayoritas ibu-ibu pemilih pak Jokowi.
Baiklah kita mengutip data Badan Pusat Statistik, sejak 2013 ada tujuh negara yang menjadi pemasok kedelai kita yakni Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, Argentina, Uruguay, Ethiopia, dan China. Sengaja Eduwara tak menyebutkan angka impornya karena agak memalukan ya, negara agraris kok ngimpor banyak kedelai.
Sejak 2013 hingga 2020 hanya Amerika Serikat, Kanada dan Malaysia yang konsisten mengekspor kedelainya untuk Indonesia. Ethiopia sejak 2016 tak mensuplai kedelai, sementara Argentina dan Uruguay berhenti sejak 2018. China? Mereka pernah berhenti mengirim pada 2017, lalu sejak 2019 benar-benar tak jualan kedelai.
Posisi mereka lantas digantikan Brazil, Myanmar dan Prancis. Itu pun tak teratur. Jadi, kadang ngirim, kadang tidak. Tercatat Brazil mengirim kedelai pertama kali pada 2015, setahun kemudian tidak. Lalu ngirim lagi pada 2017, setahun kemudian berhenti. Mengirim lagi 2019, setahun kemudian tidak. Jadi agak aneh jika ada klaim pada 2020 kita mengimpor kedelai dari Brazil.
Myanmar lebih payah, 2015 mengirim, lalu absen hingga 2019. Lalu tak mengirim lagi. Sementara Prancis? Negara ini konsisten mengekspor kedelai sejak 2018. Jumlahnya? Tak perlu disebutlah!
Satu negara yang tak diduga, sumber impor kedelai kita adalah Singapura! Sejak 2017, Indonesia yang katanya gemah ripah loh jinawi mengimpor kedelai dari negara mini Singapura yang lahan pertaniannya entah lah!
Oke, kembali urusan babi. Apa betul China sedang puyeng memberi makan babi sampai kalap memborong stok kedelai dunia? Eduwara menemukan hal menarik soal kelangkaan kedelai di pasar dalam negeri.
Pertama, sejak 2020, produsen tahu dan tempe di Indonesia yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sudah berencana mengajukan importasi mandiri komoditas kedelai kepada pemerintah.
Hal tersebut dilakukan untuk menanggapi respon atas masih tingginya harga kedelai. Saat itu Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin, menyatakan rencana importasi kedelai telah disepakati oleh seluruh perwakilan anggota pada Rapat Anggota Tahunan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia ke-XI tahun 2020 di Bandung.
Rencana tersebut menjadi salah satu agenda organisasi. Hasil komunikasi dengan beberapa kementerian terkait, pihaknya mengaku sudah mendapat lampu hijau. Terkait rencana ini, juga pernah dikomunikasikan secara langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Saat itu, presiden meminta agar kementerian terkait bisa memberi peluang importasi bagi mereka, dengan tetap mengedepankan kedelai lokal. Menurut Aip, langkah importasi kedelai secara mandiri penting karena selama ini harga kedelai dikuasai importir.
Harga kedelai terus merangkak naik, pada 2020 lalu, harga kedelai naik dari Rp7.000 menjadi Rp9.500 per kg dan pada 2021, harga kedelai ada di kisaran Rp10.000-an. Pada 2022, harganya berada di angka? Rp12.000 per kg.
Kedua, China mulai memborong kedelai Amerika pada 2020. Saking besarnya pembelian kedelai mereka, media raksasa Jepang, Nikkei, kantor berita Inggris Reuters dan media besar Hong Kong South China Morning Post (SCMP), memberikan tempat khusus tentang bagi kabar ini.
Nikkei membuat headline pembelian pada bulan September 2020 dilakukan sebagai bahan kampanye bagi Presiden Trump yang bertarung pada Pemilu 2020 di bulan November. Usai kunjungan Trump ke Beijing, dia berhasil meneken perjanjian dagang dengan China.
Serupa Nikkei, Reuters memberitakan hal yang hampir sama dengan tambahan soal badai Ida yang membuat logistik komoditi ke luar Amerika terganggu dan adanya upaya restocking ternak babi di China. Sementara SCMP lebih detail menyoroti perihal flu babi yang membuat peternakan China mengamankan cadangan pangan babi.
Nikkei mengutip Departemen Pertanian AS, jumlah pembelian kedelai China memang tak main-main. Pada September 2020, mereka memborong 9,89 juta ton kedelai Amerika. Lalu pada Agustus dan September 2021, China memborong 5,47 juta ton.
Angka yang lebih detail ditulis Reuters dan SCMP. Media SCMP mencatat pembelian mencapai 38,23 juta ton kedelai dari Januari hingga Mei tahun 2021. China menghabiskan US$ 19,35 miliar untuk kedelai dari Amerika dan Brazil.
"Harapan [untuk] restocking babi yang cepat telah menjadi alasan utama impor yang besar. Tetapi pemulihan layanan makanan dari Covid-19 juga mendukung [terjadinya] impor," kata Pan Chenjun, seorang analis protein hewani senior di Rabobank.
Jadi peternakan China sempat hancur akibat flu babi strain Afrika. Tetapi kebutuhan minyak goreng berbasiskan kedelai juga menjadi faktor lain. Ah masak? Tentu media sekelas SCMP tak asal memberitakan.
Mengutip perusahaan broker pasar modal, Hua An Futures: “harga babi terus turun, sementara biaya pakan meningkat dengan cepat. Keuntungan pemuliaan telah menyusut tajam, dan beberapa kerugian telah terjadi. Selain itu, mengingat dampak demam babi Afrika yang masih ada, petani tidak berani menumbuhkan persediaan mereka."
Selain itu, Kementerian Pertanian China pada April 2021 mengeluarkan rekomendasi agar petani mengurangi penggunaan jagung dan kedelai dalam pakan babi dan unggas. Pihak berwenang merekomendasikan daftar alternatif, termasuk beras, barley dan sorgum. Jika rencana itu berhasil dilaksanakan, itu bisa mengurangi konsumsi kedelai China setidaknya 8 juta ton per tahun.
Hampir serupa dengan SCMP, Reuters menyebutkan permintaan kedelai untuk babi justru turun karena margin dari daging babi turun, sehingga mengurangi permintaan terhadap kedelai.
Jadi apa kesimpulannya? Alasan El Nino benar, soal kerakusan babi di China? Ah ini hal yang dicari-cari pak menteri yang enggan memperbaiki tata kelola kedelai di Tanah Air yang cenderung terpusat pada segelintir importir.
Padahal dengan melakukan importasi sendiri, harga kedelai bisa ditekan, karena alur distribusi bisa diputus, hanya dari koperasi langsung ke produsen tahu dan tempe. Waduh, importir rugi dong? Jadi wajar saja importasi mandiri tak kunjung berjalan.
Bagikan