Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, SLEMAN – Berdiri sejak tahun 2000 dan mengalami pasang surut, tahun 2019 akhir Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) mulai tumbuh kembali. Dengan mengumpulkan ahli-ahli epigrafi dari berbagai wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan terutama Jawa, hampir 80 persen adalah generasi muda.
“Saya tentu merasa bangga dan semangat. Ternyata banyak generasi muda yang mempelajari aksara dan bahasa kuno nusantara. Hanya mungkin mereka tidak terkumpul dalam satu komunitas, sehingga tidak saling berbagi,” ujar Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Pusat, Ninny Soesanti Tedjowasono, kepada Eduwara.com, Jumat (25/3/2022).
Oleh karena itu setelah kongres PAEI 2021, lanjut Ninny, PAEI membuka rekrutmen setiap enam bulan sekali. Para pendaftar diseleksi. Mereka harus mengerti bahasa dan aksara kuno dibuktikan dengan artikel atau hasil tulisan mereka.
Ninny merasa sangat gembira mengenai hal tersebut. Dia juga memiliki pandangan bahwa epigrafi mempunyai masa depan yang cerah. Artinya, sangat mungkin bisa mengurangi kekhawatiran jika di masa depan tidak ada lagi yang tertarik dengan peninggalan nenek moyang.
“Saya melihat suatu masa depan yang cerah karena banyak anak-anak muda yang berminat menekuni epigrafi,” tutur Ninny.
Zaman terus berputar, dunia keilmuan mengalami berbagai perubahan, pun bagi epigrafi yang pasti mengalami tantangan ke depan. Menurut Ninny, epigrafi tidak terpaku kepada masa lalu, namun justru mempelajari masa lalu untuk masa kini dan masa depan.
“Tantangan ke depan sebetulnya kembali ke diri sendiri. Masih punya semangat atau tidak untuk terus bersinergi, menjalin kajian yang multidisiplin dengan keilmuan yang lain. Karena ahli epigrafi bisa juga ahli linguistik, ahli geografi, bisa juga filolog maupun sejarawan. Jadi tantangannya kembali ke diri masing-masing, apakah tekun mau menanggapi tantangan itu,” tegas dia.
Ninny menambahkan, bersinergi, tulus, dan tetap memberi kontribusi merupakan hal yang sangat dipegang oleh PAEI. Para anggota secara sukarela membagi keilmuan masing-masing dan saling mendukung. Dia mengaku hingga Diskusi Epigrafi Nusantara ke-30 yang diselenggarakan Jumat (25/3/2022), PAEI tidak pernah mengeluarkan biaya.
“Sampai diskusi ke-30 tidak pernah mengeluarkan biaya. Semua sukarela untuk berbagi keilmuan dan tidak pernah berfikir dibayar berapa. Teman-teman hanya berfikir apa yang bisa diberikan, karena saling mendukung dan gotong royong menjadi ciri kami. Bukannya tidak perlu uang, tetapi ternyata bisa berjalan tanpa uang,” pungkas dia.
Peninggalan Peradaban Nusantara
Selain berupa bangunan, salah satu peninggalan peradaban nusantara masa lampau banyak diabadikan dalam tulisan-tulisan. Ada yang ditulis di media kertas, daun lontar, hingga batu yang biasa disebut prasasti. Muatan dalam prasasti biasanya berisi keterangan pengesahan daerah bebas pajak atau Sima, peringatan peristiwa tertentu, bahkan hanya angka tahun.
Pembacaan prasasti menjadi pembuka gerbang mengetahui kondisi masyarakat nusantara di masa lampau. Perlu ilmu khusus untuk bisa membaca tulisan-tulisan yang tertera dalam prasasti yakni epigrafi. Epigrafi adalah suatu ilmu yang merekonstruksi masyarakat masa lalu berdasarkan sumber tertulis arkeologi yakni prasasti.
Dalam perkembangannya, ahli-ahli epigrafi di Indonesia dahulu banyak yang berasal dari luar negeri. Sebut saja de Casparis, NJ Krom, JLA Brandes, hingga Letnan Gubernur Hindia Belanda tahun 1818-1824, Sir Thomas Stamford Raffles. Kemudian muncul ahli-ahli epigrafi asal Indonesia seperti RMNg Poerbatjaraka dan Boechari.
“Berjalannya waktu, epigrafi di Indonesia jelas mengalami perkembangan. Salah satunya dibuktikan dengan masih banyaknya mahasiswa, sarjana dan peneliti-peneliti yang mengkaji prasasti setiap tahunnya,” terang Ninny.
Saat ini, para ahli prasasti itu memiliki wadah yaitu PAEI. Perkumpulan yang sudah berusia 22 tahun itu beranggotakan bukan hanya epigraf ataupun arkeolog. Banyak anggota yang berasal dari bidang keilmuan lain seperti geografi, sejarawan, dan filologi.
Lebih lanjut, anggota PAEI adalah orang-orang yang paham dan melek huruf dari salah satu aksara kuno Nusantara. Selain itu mereka juga mengerti bahasa kuno Nusantara, karena antara bahasa dan aksara merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Ada 700an bahasa di Nusantara, namun semuanya tidak diwujudkan dalam bukti tertulis dalam materi yang padat. Aksara banyak sekali, Pallawa, aksara Jawa Kuno, sampai pada aksara Ulu, dan aksara Pegon, untuk menuliskan bahasa masing-masing. (K. Setia Widodo)