logo

Kampus

Dampak Pandemi, Disebut Dosen UGM Pemicu 'Klitih'

Dampak Pandemi, Disebut Dosen UGM Pemicu 'Klitih'
Sejumlah pelaku 'klitih' yang diamankan Polda DIY ditampilkan kepada awak media. Dosen UGM Muhammad Nur Rizal menilai pandemi menjadi salah satu pemicu munculnya 'klitih'. (EDUWARA/Setyono)
Setyono, Kampus20 April, 2022 02:09 WIB

Eduwara.com, JOGJA – Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informasi (TETI), Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhammad Nur Rizal menyatakan pandemi Covid-19 menjadi faktor munculnya kasus kejahatan jalanan atau dikenal 'Klitih' di jalanan.

"Bahwa perubahan-perubahan serta tekanan yang muncul akibat pandemi bisa menjadi salah satu hal yang memicu aksi klitih oleh para remaja," kata Rizal, lewat rilis Selasa (19/4/2022).

Rizal yang merupakan inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) DIY, mengatakan saat ini banyak anak remaja harus menghadapi perubahan dinamika di dalam keluarga, sekolah, relasi pertemanan, serta lingkungan masyarakat.

Dalam situasi yang demikian kompleks, anak sulit untuk memenuhi kebutuhannya akan ruang ekspresi diri.

"Manusia butuh aktualisasi diri. Tapi belakangan ini anak muda tidak punya ruang untuk berekspresi baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat sekitarnya," ucapnya.

Ketika kegiatan pembelajaran dilaksanakan sepenuhnya secara daring, banyak aktivitas yang bagi para siswa dapat menjadi ruang untuk berekspresi, berkarya, dan berinteraksi hilang. Demikian juga ruang interaksi di lingkungan masyarakat.

Anak banyak menghabiskan waktu di rumah. Namun dia melihat, yang menjadi mendominasi munculnya permasalahan di banyak keluarga adalah tidak adanya relasi yang baik.

"Tidak luput juga, banyak orang tua mengalami efek pandemi dan terpuruk secara ekonomi sehingga mereka lupa untuk membangun kedekatan dan komunikasi yang intensif dengan anak," kata Rizal.

Padahal, anak juga mengalami banyak persoalan baru sehingga perlu mendapat perhatian dan pendampingan dari orang tua. Hal ini membuat relasi antara anak dengan orang tua semakin jauh, dan banyak anak melarikan diri ke dunia teknologi.

"Ketika ruang interaksi dan partisipasi berkurang, anak lari ke dunia teknologi. Bagi sejumlah anak, ketika dia terpapar pada hal-hal negatif dia kemudian mencoba menerapkannya," imbuhnya.

Lingkungan Positif

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, akan membawa sejumlah perubahan pada perilaku kejahatan yang kini bisa dilakukan secara individual. Termasuk halnya pada aksi klitih yang sebelumnya lebih banyak dilakukan secara berkelompok, saat ini aksi tersebut bisa dilakukan secara individual.

Ia menerangkan sejumlah pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencegah remaja terlibat dalam aktivitas negatif seperti klitih, salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang positif.

"Lingkungan positif harus dimaknai sebagai lingkungan yang memberi rasa aman bagi siswa untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, juga dimaknai dengan adanya peran masyarakat yang terkecil dalam membangun kegiatan yang partisipatif," paparnya.

Selain itu, sekolah dan keluarga perlu membangun penalaran dan kesadaran anak, memperbanyak ruang refleksi dalam proses belajar dan mendorong anak untuk mengenali potensi, keunikan, serta emosinya.

Anak, menurutnya, perlu lebih banyak terlibat dalam kegiatan belajar yang berbasis masalah, di mana anak didorong untuk melakukan aktivitas yang positif bagi masyarakat.

"Anak tidak boleh teralienasi dari masyarakat. Belajar membangun rasa empati, dan sejak muda dia mengerti bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan diri, dan kompetensi sosialnya bermanfaat bagi orang lain, dengan begitu anak tidak merasa sebagai useless generation," kata Rizal.

Read Next