logo

Sekolah Kita

Harga Mahal Bisa Jadi Upaya Cegah Anak Jadi Perokok

Harga Mahal Bisa Jadi Upaya Cegah Anak Jadi Perokok
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A dalam Konferensi Pers Lindungi Anak dan Remaja dari Keterjangkauan Harga Rokok Demi Sumber Daya Unggul Mencapai Indonesia Maju, Kamis (4/8/2022). (Yayasan KAKAK)
Redaksi, Sekolah Kita05 Agustus, 2022 15:58 WIB

Eduwara.com, SOLO – Organisasi pemerhati anak memberikan dukungan atas penaikan harga rokok karena dinilai bisa menjauhkan keterjangkauan rokok dari anak-anak.

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK) Solo bekerja sama dengan 42 organisasi pemerhati anak menyelenggarakan Konferensi Pers yang bertajuk Lindungi Anak dan Remaja dari Keterjangkauan Harga Rokok Demi Sumber Daya Unggul Mencapai Indonesia Maju dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional dan menyambut Hari Pemuda Internasional, Kamis (4/8/2022).

Ketua Yayasan KAKAK Shoim Sahriyati menyampaikan upaya pencegahan harus dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah perokok usia anak. Edukasi di semua lini harus dilakukan, tetapi kebijakan tersebut harus berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.

“Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan anak dari rokok. Di antaranya dengan menaikkan harga rokok menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak ditambah dengan kebijakan pengendalian lainnya.,” ujar dia seperti siaran pers yang diterima Eduwara.com, Kamis (4/8/2022).

Menurutnya, jika akses untuk membeli rokok masih sangat mudah dijangkau oleh anak-anak, terutama dengan harga yang murah, maka dikhawatirkan mereka akan menjadi perokok pemula dan terjerat dalam produk adiktif itu.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen dari 7,2 persen pada 2013. 

Pemerintah memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu menurunkan persentase perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen.

Peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono menyampaikan studi PKJS-UI tahun 2020 menunjukkan selain efek teman sebaya, efek harga berhubungan dengan peluang seorang anak menjadi perokok. Dari efek harga, diperoleh jika semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok. Apalagi saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan atau ketengan.

“Studi PKJS-UI tahun 2021 menunjukkan anak usia sekolah sangat mudah membeli rokok batangan karena sebanyak 61,2% warung rokok berada pada radius ≤100 meter di sekitar area sekolah, dengan harga rokok batangan yang dijual pun masih terjangkau oleh uang saku anak, yaitu pada kisaran Rp1.500 per batang,” tambah Risky.

Dia melanjutkan, keterjangkauan akses untuk membeli rokok yang masih sangat murah dan mudah oleh anak-anak dan remaja akan membuat Indonesia kesulitan untuk mencapai penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2020-2024.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan rokok erat kaitannya dengan Hak Asasi anak. Komnas HAM sudah mengajukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tujuannya agar anak lebih terlindungi dari bahaya rokok. Baik itu dari pengaruh sosial untuk ikut berperilaku merokok, bahaya asap rokok dari lingkungan sekitar, di rumah, di tempat umum maupun di transportasi umum.

Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum meratifikasi FCTC tersebut. Setidaknya ada kebijakan yang terus secara progresif, tahap demi tahap, mendekati apa yang menjadi substansi dari FCTC. Misalnya iklan, promosi, dan sponsorship dari rokok semestinya dilarang di Indonesia.

“Industri rokok masih sangat bisa membangun iklan saat ini. Mestinya sudah lebih dibatasi terutama di ruang-ruang yang dekat dengan lokasi anak-anak yang dapat dilanjutkan lebih luas ke ruang-ruang publik. Pemerintah juga harus melakukan pembatasan yang tegas berupa pelarangan adanya rokok di sekitar sekolah atau misalnya taman untuk semakin melindungi anak.” kata dia. (K. Setia Widodo/*)

Read Next