Bagikan:
Bagikan:
Eduwara.com, JAKARTA - Penyebaran kabar bohong atau hoaks menjadi ancaman serius terhadap demokrasi karena tidak hanya merusak akal sehat calon pemilih, namun juga dapat mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu, dan lebih parah lagi, mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah ke disintegrasi bangsa.
“Memasuki rangkaian Pemilu 2024, banyak pihak yang secara tidak bertanggung jawab menyebarkan hoaks sebagai media blackcampaign,” kata anggota DPR RI Nurul Arifin saat menjadi Keynote Speaker I dalam Webinar ‘Bijak Bermedia Digital’, Sabtu (16/12/2023).
Webinar tersebut diselenggarakan oleh akademisi bidang Teknologi Informasi dari Universitas Dian Nusantara, STMIK Antar Bangsa dan STARKI. Webinar juga menghadirkan Wakil Sekjen II APTIKOM Solikin sebagai Keynote Speaker II.
Tidak hanya itu, Nurul mengingatkan, selain penyebaran kabar bohong, pada masa kampanye saat ini masyarakat juga perlu waspada terhadap ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial dengan menggunakan narasi-narasi provokatif guna menyerang lawan politik dalam kontestasi Pemilu 2024.
“Ujaran kebencian menjadi hal yang membahayakan demokrasi dan juga persatuan bangsa karena melalui konten-konten provokatif yang disebarkan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat untuk memilih tanpa berdasarkan fakta dan realita, melainkan berdasarkan perasaan (emosional),” ujarnya.
Nurul mengakui saat ini perkembangan teknologi komunikasi dan informatika telah mempengaruhi seluruh sektor kehidupan manusia. Salah satu wujud pengaruh perkembangan teknologi tersebut adalah media sosial yang dapat memampukan penggunanya untuk memperoleh dan juga menyebarkan informasi tanpa terbatas ruang dan waktu.
Media sosial, kata Nurul, melahirkan sebuah era baru yang disebut era disrupsi informasi di mana seseorang dapat menerima berbagai macam informasi yang belum tentu kebenarannya dalam kurun waktu singkat, sehingga seseorang harus dapat memilah informasi yang diterima agar tidak terkena informasi palsu (hoaks) yang dapat menyesatkan.
Bijak Bermedia
Kesadaran pengguna media sosial untuk menyaring informasi yang diterima, menurut Nurul, menjadi hal penting untuk memerangi penyebaran informasi yang tidak benar dan dapat menyesatkan pengguna media sosial lain yang lebih luas (masyarakat).
Karena itu, dalam memanfaatkan media digital, Nurul meminta warga masyarakat selalu melandaskan diri dan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) .
Dijelaskan, pasal 28 ayat (1) UUITE melarang setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ketentutan pidana jika melanggar ketentuan di atas, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
“DPR RI baru saja mengesahkan Revisi UU ITE yang bertujuan untuk mengurangi potensi kriminalisasi terhadap pasal-pasal yang dianggap pasal karet,” paparnya.
Menyampaikan materi berjudul “Digital Literacy Global Framework (DLGF) Literasi Digital Skill dan Digital Ethic Webinar”, Wakil Sekjen II APTIKOM Solikin, sebagaimana Nurul Arifin, mengingatkan publik untuk waspada dengan bahaya potensial yang dapat ditimbulkan oleh pemanfaatan media digital secara tidak bijaksana.
“Media digital perlu dimanfaatkan secara bijak. Sebab kalau tidak, maka media digital akan menimbulkan berbagai tindak pidana seperti kabar hoaks, penipuan daring, perjudian, eksplotiasi seksual pada anak, perudungan siber, ujaran kebencian dan penyebaran kontek radial,” paparnya. (*)